Sabtu, 29 Agustus 2009

Prolegomena: Teologi Bagi Kehidupan

Antonius Steven Un

Belajar dan mengerjakan teologia bukanlah suatu perkara yang remeh. Hal ini dikarenakan belajar dan mengerjakan teologia sekaligus merupakan suatu respons terhadap wahyu Tuhan, suatu pergumulan hidup dan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Itu sebabnya kita perlu bersungguh-sungguh memikiran dan mempersiapkan proses belajar dan mengerjakan teologia. Dalam rangka tujuan ini, maka prolegomena diadakan. Prolegomena merupakan pengantar sebelum studi teologia. Prolegomena diadakan dengan maksud supaya kita mempersiapkan diri dengan sikap hati dan sikap pikiran yang tepat untuk mengerjakan teologia. Kiranya melalui prolegomena nantinya, kita semakin baik dan maju serta bertumbuh dalam belajar dan mengerjakan teologia.

Natur Teologia
Perlu diketahui bahwa istilah 'teologia' tidaklah mudah untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena pengguanaannya yang demikian luas. Misalnya saja, Plato, filsuf Yunani Kuno, menyebut karya tulis tentang para dewa dari pujangga-pujangga waktu itu sebagai 'teologia.' Bukan saja demikian, Millard J. Erickson bahkan menyimpulkan bahwa teologia merupakan kegiatan tingkat kedua - jika dibandingkan dengan agama - karena teologia menangani urusan dogma dan keyakinan dalam agama-agama. Namun demikian, adalah tugas kita untuk mendefinisikan teologia sebab definisi ini menunjukkan pengertian kita akan hakekat dan sekaligus menentukan signifikansi, sumber dan metode teologia. Tanpa pengertian akan natur teologia tidak mungkin kita akan berteologia, sebab kita tidak tahu apa yang kita kerjakan. Itu sebabnya, kita akan mencoba menelusuri pergumulan mengerti natur teologia secara historis lalu kemudian menentukan sikap secara jujur dan adil mengenai natur teologia.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan di depan, mendefinisikan teologia bukanlah suatu usaha yang mudah. Dalam sejarah teologia, beberapa teolog dan pemikir Kristen pernah memberikan definisi-definisi teologia menurut pengertian dan konteks latar belakang mereka. Charles Hodge (1797-1878), teolog Reformed dari Old Princeton dalam menjawab pertanyaan: apakah teologia itu, mengemukakan kalimat: "jika ilmu natural (natural science) berkonsentrasi dengan fakta dan hukum alam maka teologia berkonsentrasi dengan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab." Pekerjaan teologia tidak berhenti pada penemuan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab tetapi sebagaimana dalam natural science, menurut Hodge, teologia juga mengurusi sistimatisasi dari fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab. Itu sebabnya, Hodge menyimpulkan: "Teologia... mengetengahkan fakta-fakta Alkitab dalam urutan dan hubungan yang tepat dengan prinsip-prinsip atau kebenaran-kebenaran umum yang ada dalam fakta-fakta itu sendiri dan yang meliputi dan menyelaraskan seutuhnya
Millard J. Ericson berawal dari prinsip yang sama dengan Hodge - teologia harus bersifat Alkitabiah - Ericson memberikan definisi yang lengkap mengenai teologia yaitu "bidang study yang berusaha untuk menyampaikan suatu pernyataan yang berhubungan secara logis tentang doktrin-doktrin iman Kristen yang terutama berdasarkan Alkitab, ditempatkan dalam konteks kebudayaan pada umumnya, dikalimatkan dalam bahasa-bahasa masa kini dan berhubungan dengan masalah-masalah kehidupan."
Kedua penjelasan di atas memberikan sifat sistematis dan proposisi dari teologia. Tidak demikian dengan Stenley Grenz. Ia mengatakan "Secara mendasar, teologia sistematika adalah sebuah refleksi dan artikulasi teratur atas iman." Ini berarti setiap orang yang beriman pasti berteologia. " karena kita adalah orang beriman maka kita berurusan dengan teologia." Grenz kemudian melanjutkan kesimpulannya tentang teologia bahwa "teologia adalah sebuah pekerjaan komunitas orang beriman; teologia adalah tindakan komunitas. Teologi adalah refleksi dan artikulasi komunitas Kristen atas iman dari orang-orang yang telah berkontak (Grenz menggunakan istilah "encountered with God") dengan Allah dalam aktifitas Allah yang berfokus kepada sejarah Yesus dari Nasaret dan dari mereka yang berusaha untuk hidup sebagai umat Allah dalam zaman kontemporer" (penekanan ditambahkan oleh penulis untuk memudahkan pembacaan).
Grenz dapat tiba kepada kesimpulan demikian oleh karena ia melihat adanya kelemahan dalam teologia yang bersistem dan bersifat proposisi. Teologi sistimatika menurut Grenz, sebagai produk dari teolog Skolastik dan Princeton tahun 1800-an, sudah berfokus kepada pengorganisasian fakta-fakta Alkitab sebagaimana natural sciences mengsistimatisasikan fakta-fakta alam semesta. Fokus ini membawa teolog-teolog mengerti kebenaran sebagai proposisi yang terdiri dari kalimat-kalimat penegasan dan bersifat tidak berubah. Konsekwensinya, "proposisionalis berusaha mengangkat teologia dari satu konteks kebudayaan untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan kebenaran yang bersifat melampaui waktu dan kebudayaan." Menurut Grenz, model pendekatan yang ia sebut "concordance" ini telah pernah mengalami beberapa kali tantangan. Misalnya, Neo-Orthodoks yang menekankan wahyu bukan dalam sistim teologia melainkan dalam encounter dengan Allah. Dari konsep "encounter" ini kemudian Grenz melihat teologia sebagai refleksi. Menurut Grenz, "refleksi teologis selalu terjadi dalam dan untuk sebuah konteks sejarah spesifik." Ini berarti, concordance approach dalam teologi yang bersifat melampaui waktu dan kebudayaan telah "memperkosa" refleksi teologis dari waktu dan kebudayaan tertentu. Inilah kelemahan teologia yang bersifat proposisi.
Grenz juga mengakomodir fokus teologia kontemporer kepada komunitas. Sebagaimana dikemukakan di atas, bertolak dari konsep "encounter" dalam Neo-Orthodoks, Grenz melihat bahwa refleksi teologis yang bersifat spesifik berkonsekuensi bahwa teologia harus berfokus kepada komunitas. Grenz mengatakan "sebagai orang-orang Kristen, kami menegaskan bahwa pengalaman agama - sebuah encounter dengan ilahi - adalah berdasarkan identitas pribadi kita. Menurut tradisi Alkitab, tujuan dari encounter manusia - Allah, adalah untuk menetapkan komunitas orang-orang yang berada dalam perjanjian dengan Allah." Kepentingan komunitas Kristen ini menurut Grenz, penting bagi kita untuk mengerti natur teologia. Itu sebabnya mengapa ia mendefinisikan teologia sebagai refleksi iman komunitas Kristen. (Pandangan Grenz ini sangat dipengaruhi Postmodernisme-red)
Douglas Groothuis menulis satu buku untuk membela kekristenan terhadap tantangan Postmodernisme yang berjudul "Pudarnya Kebenaran" (Truth Decay). Dalam pasal yang menjawab tantangan Postmodernisme atas teologia, Groothuis memberikan sejumlah penjelasan tentang teologia. Menurut dia, teologia bertugas untuk "mengidentifikasi dan merumuskan secara logis, koheren dan meyakinkan kebenaran yang diwahyukan Allah." Definisi ini menjadikan teologia bersifat untuk semua orang, bukan hanya untuk para teolog melainkan "...menyangkut semua orang Kristen yang ingin memahami dan menerapkan kebenaran Allah bagi kehidupan dan menjadikannya diketahui orang lain... akibatnya, teologia mempengaruhi segala hal yang kita lakukan tidak peduli apakah kita memikirannya secara sistimatis atau tidak." Namun teologia yang dimaksud oleh Groothuis adalah yang bersifat proposisional. Menurut dia, "pembelaan bagi wahyu proposisional merupakan ajaran sentral kaum Injili... Bab 3 (buku "Pudarnya Kebenaran") membela pandangan proposisional kebenaran dan mendemonstrasikannya bahwa Alkitab menyatakan kebenaran Allah sebagai kebenaran yang diwahyukan, obyektif, mutlak, universal, berlaku kekal, antitesis, sistematis dan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri."
Berbagai sisi dari teologia harus dipandang dengan jujur menurut apa yang Alkitab katakan. Pertama, kita harus membedakan antara Alkitab sebagai Firman Allah dan teologia. Alkitab sebagai Firman/ wahyu Allah tidak bersalah, tepat setiap kata-katanya pada naskah asli. Sementara teologia adalah pergumulan manusia untuk mengerti dan menerapkan wahyu Allah. Teologia membaca dan menyusun fakta-fakta menurut urutan yang diberikan Alkitab. Teologia juga menggunakan rasio yang diciptakan oleh Tuhan dalam proses ini. Kedua, kita harus membedaan antara kebenaran yang hanya satu (segala kebenaran adalah kebenaran Allah - Truth) dan pengalaman kita akan kebenaran. Kebenaran tidak berubah, bersifat melampaui ruang dan waktu, konsisten dan koheren. Sementara pengalaman kita akan kebenaran berdasarkan konteks kita masing-masing. Teologia dalam hal ini mengerjakan penerjemahan kebenaran yang satu (Truth) itu ke dalam konteks yang beragam. Itu sebabnya teologia tidak boleh mengabaikan fakta kondisi dan waktu kultural. Paulus mengatakan "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi...bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka" (1 Kor. 9:19-23). Paulus memang sedang membicarakan penginjilan tetapi kita tahu bahwa ketika kebenaran itu akan disampaikan ke dalam konteks yang berbeda, teologia yang bertugas menyampaikan kebenaran harus menyesuaikan diri menurut konteksnya masing-masing.
Ketiga, kita harus membedakan antara wahyu yang proposisional dan beragam tipe sastra yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran wahyu Allah. Dalam Alkitab terdapat berbagai macam tipe sastra: narasi, puisi, proposisi, apokalipsi dan lainnya. Dalam setiap tipe sastra terdapat kebenaran proposisional yang akan disampaikan oleh Allah. Hal inilah yang dikenal dengan wahyu proposisional. Teologia tidak boleh mengabaikan sifat sastra dari setiap tipe sastra dalam Alkitab karena tipe itulah yang dipilih Allah dalam konteksnya) untuk menyampaikan wahyu.
Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas beberapa sifat dan tugas teologia:
Sifat Teologia:
1. Teologia harus bersifat Alkitabiah.
2. Teologia bersifat sistimatis.
3. Teologia bersifat refleksi atas iman kepercayaan Kristiani.
4. Teologia bersifat kontekstual (menerjemahkan kebenaran ke dalam konteks).
5. Teologia memberikan tantangan kepada kebudayaan untuk kembali kepada kemuliaan Tuhan.
6. Teologia memberikan jawaban di tengah berbagai alternatif.
Tugas Teologia:
1. Teologia membaca fakta-fakta dan prinsip-prinsip kebenaran dalam Alkitab dengan benar (tugas penafsiran).
2. Teologia menyusun fakta-fakta dan prinsip-prinsip ke dalam kerangka yang sesuai Alkitab (tugas sistimatika).
3. Teologia menilai tradisi di bawah terang Alkitab (tugas historika).
4. Teologia menggiring kebudayaan kepada kemuliaan Tuhan (tugas filosofis).
5. Teologia memimpin orang percaya untuk mengasihi Tuhan dan sesama (tugas spiritual).

Jenis-Jenis Teologia
Melihat natur dan tugas teologia yang sedemikian luas, kita mencoba memetakan jenis-jenis teologia berdasarkan cakupan, sebagaimana yang sudah dikenal luas. Berdasarkan cakupan, teologia terdiri dari empat bagian yaitu teologia sistimatika; teologia biblika, teologia historika, teologia filosofika.
Teologia sistimatika adalah studi tentang doktrin yang datanya diambil dari Alkitab, yang dikumpulkan atau diorganisasikan menurut tema-tema tertentu. Teologia sistimatika terdiri dari Doktrin Alkitab, Doktrin Allah, Doktrin Manusia dan Dosa, Doktrin Kristus, Doktrin Roh Kudus, Doktrin Keselamatan, Doktrin Gereja, Doktrin Akhir Zaman.
Teologia Biblika adalah studi tentang doktrin-doktrin dari Alkitab (yang dilihat secara kronologis) dengan dikelompokkan melalui karya tulis penulis tertentu (yang menekankan tema tertentu) atau dikembangkan dalam era tertentu. Misalnya tentang doktrin penebusan dapat dilihat melalui ajaran PL, Injil-Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, Petrus dan Yohanes. Teologi Biblika dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu teologia Perjanjian Lama dan Teologia Perjanjian Baru.
Teologia Historika adalah teologia yang mempelajari ajaran-ajaran teologis gereja yang telah digumulkan sepanjang abad-abad sejarah gereja. Terdapat dua cara untuk menata teologia historika yaitu diakronis dan sinkronis. Cara diakronis adalah pendekatan untuk merunut sejarah pemikiran mengenai suatu doktrin tertentu (atau serangkaian doktrin) selama berbagai periode dalam sejarah gereja. Sementara secara sinkronis mempelajari teologi dari kurun waktu tertentu atau teolog tertentu atau aliran teologi tertentu berkenaan dengan beberapa pokok doktrinal penting.
Teologia Filosofika adalah studi tentang iman Kristen yang dilihat secara filsafat. Misalnya, tentang dasar/ alasan mengapa orang Kristen percaya pada eksistensi Allah, tentang identitas Allah dan relasi Allah dengan dunia, tentang keabsahan pemakaian bahasa religius, tentang hubungan sejarah dan agama, tentang wahyu, iman dan rasio dan sebagainya.
Jenis-jenis teologia ini menolong studi kita yang semakin fokus. Studi teologia yang mendalam tidak mungkin tidak fokus. Itu sebabnya pembagian ini menolong kita.

Signifikansi Teologi dan Audiens Teologia
Kita seringkali dihadapkan dengan suatu pertanyaan "Apakah itu memang perlu?". Seringkali kita menghindari pekerjaan berteologi dengan alasan "Bila saya mengasihi Yesus, bukankah itu sudah cukup?" Beberapa fakta seringkali dikemukakan sebagai alasan yang cukup bagi orang Kristen untuk menghindari tugas berteologia. Misalnya saja, teologia mempersulit iman Kristen, teologia itu tidak praktis-abstrak dan di awan-awan, teologia memecah gereja dan lain sebagainya. Patut dimengerti bahwa teologia tidak sesempit dan seburuk apa yang kita bayangkan. Bertolak dari apa itu teologia (natur teologia) sekarang kita meneliti seberapa pentingnya teologia itu (signifikansi teologia) dan signifikansi ini yang akan menentukan audiens teologia. Signifikansi teologia menentukan siapa saja yang berteologia dan memberikan alasan kepada kita mengapa kita harus berjuang untuk menggumulkan teologia tersebut.
Di dalam pembahasan mengenai natur teologia, kita lebih banyak melihat teologia dari sisi metode dan bukan isinya. Dari sisi metode, kita dapat melihat beberapa kepentingan teologia. Secara umum sebagai orang beragama - terlepas dari apa agamanya - kita pasti berteologia. Sebab teologia adalah tingkatan kedua dalam beragama yang mengurusi soal dogma dan keyakinan agama. Selain itu, teologia bertugas untuk mensistematiskan fakta-fakta dan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini menjadi penting ketika kita menyadari sifat Alkitab yang berkonteks dimana konteks Alkitab berbeda dengan konteks masa kini dalam hal waktu dan tempat, budaya dan bahasa, dan lain-lain. Perbedaan konteks ini mengakibatkan pembacaan terhadap fakta-fakta dan upaya sistematisasinya harus dilakukan dengan studi yang cermat sehingga kita dapat mengeliminir bias dalam penafsiran - meski tidak dapat menyingkirkannya sama sekali. (Teologia mengerjakan pekerjaan penafsiran).
Teologia juga menjadi penting sebab teologia membicarakan kerangka dan kerangka ini yang dipakai untuk menempatkan kembali aspek-aspek kebudayaan. Kita sadar bahwa kekristenan juga memiliki mandat budaya. Mandat budaya bermaksud untuk memimpin setiap aspek hidup manusia sehingga memuliakan Tuhan. Dalam rangka tugas ini, teologia harus hadir untuk menerjemahkan berita Alkitab dalam bahasa dan konteks kebudayaan. Itu sebabnya teologia menjadi penting.
Jika kita melihat pergumulan teologia dari sisi metode, kita menyimpulkan bahwa teologia begitu penting. Tetapi bukan hanya dari sisi metode saja teologia menjadi penting. Jika di tinjau dari sisi isinya, teologia juga sangat penting. Teologia - dalam hal isinya - merupakan pergumulan studi mengenal Allah dan hubungan Allah dengan alam semesta termasuk di dalamnya manusia . John Calvin melihat pengenalan akan Allah dan manusia sebagai dua hal yang sangat berhubungan. Calvin mengatakan "hampir semua kebijaksanaan yang kita miliki, yaitu yang benar dan kuat terdiri dari dua bagian yaitu pengenalan akan Allah dan diri kita" . Calvin menjelaskan berapa pentingnya pengenalan akan Allah bagi pengenalan akan diri kita. Ia berkata "sekali lagi, jelas bahwa manusia tidak pernah mencapai pengenalan yang jelas akan dirinya tanpa ia pertama-tama melihat kepada diri Allah dan kemudian turun dari perenungan akan Allah kepada pengujian terhadap diri sendiri" . Ia berkata bahwa seringkali kita menganggap diri kita benar, bijaksana, dan kudus. Kesombongan ini sudah tertanam dalam diri kita sebab kita memiliki nature of hypocrisy sampai kita merenungan berapa sempurnanya kebenaran, kebijaksanaan dan kekuasaan Allah sehingga kita menjadi rendah hati. Sebagai hasilnya, "kita harus simpulkan bahwa manusia tidak akan tersentuh dan merenungkan kerendahan/ kehinaannya sampai ia membandingkan dirinya dengan kemuliaan Tuhan" . Apa yang hendak disampaikan Calvin adalah bahwa dengan teologia yang benar, kita akan dituntun kepada citra diri yang benar.
Millard J. Erickson memberikan beberapa pertimbangan yang penting bahwa teologia memang perlu dan berguna . Yang pertama, teologi itu penting karena kepercayaan doktrinal yang tepat sangatlah penting dalam hubungan antara orang percaya dengan Allah. Dalam Alkitab kita melihat beberapa contoh yang penting. Di dalam Matius 16, Tuhan Yesus bertanya kepada murid-murid dan kemudian Petrus memberian kredo pertama dalam gereja yang sangat penting mengenai siapa Kristus yaitu: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup" (16:16). Berdasarkan kredo inilah gereja yang pertama didirikan. Dalam gereja kita hari ini, jelas bagi kita bahwa kredo merupakan formulasi dotrinal yang ringkas mewakili kepercayaan doktrinal kita. Misalkan saja Pengakuan Iman Rasuli dan Pemgakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang sarat doktrinal. Contoh yang lain mengenai kepercayaan dokrinal yang penting adalah ketika Paulus memberikan penjelasan mengenai iman Abraham. Menurut Paulus, Abraham beriman bahwa Allah yang ia percayai adalah "Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada" Roma 4:17. Apa yang Abraham percayai adalah iman kebangkitan dan iman penciptaan (creatio ex nihilo). Dapat disimpulkan bahwa apa yang Abraham percayai mewakili PB dan PL.
Yang kedua, teologia itu perlu karena kebenaran dan pengalaman berhubungan. Teologia membawa kebenaran ke dalam hidup kita. Hidup kita sebagai orang percaya selalu ingin hidup dalam kebenaran dan teologia memimpin pergumulan ini. Yang ketiga, teologia itu diperlukan karena saat ini terdapat banyak pilihan dan tantangan. Dari sisi agama-agama, kebangkitan agama timur dan New Age Movement menjadi alternatif baru dalam beragama - spiritualitas. Sementara dari kebudayaan, postmodernisme menjadi gerakan kebudayaan yang mendunia dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia. Itu sebabnya kekristenan harus menggembalakan aspek-aspek yang menjadi pokok gugatan dari kaum New Age Movement dan Postmodernisme.
Sementara Stanley J. Grenz memberikan tiga alasan pentingnya teologia dalam gereja . Yang pertama, kepentingan "polemik." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kebutuhan akan pemaparan sistem kepercayaan Kristen dalam konteks alternatif. Kedua, kepentingan "cathechetics." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kebutuhan akan pemaparan perintah-perintah Allah kepada umatNya. Ketiga, kepentingan "kesimpulan Alkitab." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kerinduan orang percaya dalam menyimpulkan tema-tema dasar Alkitab kedalam suatu format kesimpulan (biblical summarization).
Dari pembahasan yang telah dikemukakan, dihasilkan dua kelompok kesimpulan. Secara metode, teologia penting karena merupakan tindakan agama yang menangani dogma dan keyakinan agama. Dogma selalu merupakan intisari dari kredo. Teologia penting karena membicarakan kredo dan dogma serta hubungannya. Ketika membicarakan kredo dan dogma, mau tidak mau teologia harus membicarakan hubungan apa yang dipercayai dengan kaum percaya. Itu sebabnya teologia yang berisi kepercayaan doktrinal yang tepat sangatlah penting dalam hubungan antara orang percaya dengan Allah (kepentingan Cathechetics).
Teologia penting karena teologia bermaksud membaca fakta-fakta Alkitab dengan benar. Asumsinya Alkitab adalah firman Allah bagi manusia.Fakta-fakta yang sudah ditemukan akan disistematiskan oleh teologia (kerangka). Kerangka sendiri dibentuk oleh Alkitab. Kerangka yang sudah disusun ini akan digumulkan ke dalam pengalaman sehari-hari. Teologialah yang memimpin pergumulan ini. Ketika kita bergumul untuk mengalami kebenaran, kita sedang bergumul dalam konteks dan masalah-masalah kebudayaan. Dengan demikian, sebenarnya teologia sedang menerjemahkan berita Alkitab ke dalam bahasa kebudayaan (mandat budaya). Di tengah banyaknya permasalahan kebudayaan, agama dan filsafat mencoba menawarkan berbagai pilihan maka teologia harus menilai semua itu dan memberi jawaban serta solusi di tengah beragamnya pilihan (kepentingan polemik).
Secara isi. Teologia menjadi penting karena memimpin manusia kepada citra diri yang benar. Teologia juga penting karena menolong orang percaya untuk mengerti isi kredo. Teologia juga menjadi penting karena menolong orang percaya menata konten-konten kebudayaan.

Teologi yang Berkerangka dan Bantahan Atasnya
Kita patut mengakui satu fakta bahwa Alkitab selain memberikan fakta dan prinsip-prinsip kebenaran, Alkitab juga memaparkan urutan-urutan, tingkatan-tingkatan dan kerangka. Misalnya dalam kejadian 1-2, secara jelas Alkitab memberikan tingkatan di mana Allah yang tertnggi kemudian manusia dan barulah ciptaan yang lain di tempat paling bawah. Ini berarti, teologia dalam pergumulannya juga harus menemukan kerangka yang disusun oleh Alkitab sehingga dengan kerangka inilah kita akan berteologia. Hal ini berasumsi bahwa kita tidak berteologia di luar kerangka.Sebagian orang menyebut kerangka ini sebagai sistem/ sistematika . Namun demikian, dalam perjalanan sejarah teologia, terdapat pandangan-pandangan yang menolak teologia yang bersistem/ kerangka. Kita akan mencoba melihat bantahan-bantahan tersebut dan mencoba memberikan bantahan-bantahan.
Bantahan yang diberikan kepada teologia yang berkerangka dikemukakan paling tidak oleh dua tokoh. Pertama, Friedrich Schleiermacher lalu yang kedua Karl Barth. Yang pertama, bantahan yang dilakukan oleh Friedrich Schleiermacher(1768-1834) dalam pendekatan baru yang ia kemukakan. Pendekatan baru dalam berteologia ini adalah teologia dipandang sebagai suatu "usaha menganalisis pengalaman kesadaran religius yaitu perasaan ketergantungan mutlak (the feeling of the absolute dependence). Pendekatan ini merupakan jalan tengah yang dikemukakan Schleiermacher setelah dua pendekatan - Reformasi dan Natural Theology - tidak bisa lagi dipertahankan oleh zamannya. Schleiermacher yang banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf Jerman Immanuel Kant sudah menolak natural theology. Sementara di sisi lain, Alkitab sebagai sumber teologia yang dipakai dalam pendekatan Reformasi juga tidak lagi dapat diterima oleh Schleiermacher sebagai Firman Allah. Baginya, Alkitab hanyalah "catatan pengalaman agamawi" . Itu sebabnya, ditambah dengan pengaruh Romantisisme, Schleiermacher tiba pada kesimpulan bahwa "pengalaman yang sejati dengan Allah ternyata tidak diperoleh manusia melalui 'pemahaman rasionil atas formulasi-formulasi doktrin` atau melalui `keterlibatan dengan tingkah laku agama' ” .melainkan melalui pengalaman "`God-consciousness` yaitu pengalaman kehadiran Allah melalui `feeling of absolute dependency.'" Pengalaman ketergantungan mutlak kepada Allah menurut Schleiermacher dapat dilatih dengan dua cara yaitu dengan melatih kesadaran akan dosa dan kehausan untuk diperdamaikan dengan Allah serta dengan dengan pengalaman mistik akan kehadiran Allah melalui meditasi.
Pendekatan yang dikerjakan oleh Schleiermacher telah coba ditanggapi oleh Colin Brown. Colin Brown berkata bahwa "Schleiermacher berusaha bersikap empiris di dalam pendekatannya, menolak spekulasi abstrak demi kebaikan analisa pengalaman agamawi. Kesulitannya bukanlah dia terlalu bersikap empiris tetapi karena dia tidak cukup bersikap empiris." Menurut Brown, Schleiermacher tidak pernah meneliti dengan tuntas pengalaman agamawi, malah sebaliknya "secara diam-diam ia menikmati ide-ide jelas dan tegas dari rasionalisme abad ke tujuh belas." Selain itu, kesalahan yang telah dilakukan Natural Theology yang mencoba membaca mem-by-pass wahyu dalam pengenalan akan Allah dan diganti dengan rasio, terletak pada kemutlakan penggunaan rasio untuk mengenal Allah. Ini tidak berarti bahwa rasio harus diabaikan sama sekali dalam berteologia. Justru rasio harus ditempatkan pada tempatnya, dipakai untuk membaca, mengerti dan menelaah wahyu Allah dalam pengenalan Allah dan bertempat bukan melawan iman melainkan di bawah iman. Artinya tetap ada sisi di mana rasio cukup dan itulah sisi dari iman - iman melampaui rasio. Sedangkan penolakan Alkitab sebagai firman Allah berdasarkan asumsi Deisme, merupakan sesuatu yang tidak perlu dilakukan karena Deisme bertentangan dengan fakta yang terjadi di dalam dunia di mana banyak kejadian terjadi di luar jangkauan pikiran manusia.
Yang kedua adalah bantahan yang dikemukakan oleh Karl Barth (1886-1968). Bantahan yang dikemukakan Barth atas teologia yang berkerangka berangkat dari konsep Allah yang transenden/ wholly other. Allah yang demikian berbeda secara kualitas dengan manusia dan Allah yang sama sekali transenden. "Ia sama sekali tidak bisa diidentifikasikan langsung dengan apapun yang ada di dunia ini, bahkan dengan firman dalam Alkitab." Ini berarti Barth menolak pengenalan akan Allah melalui Alkitab. Menurut Barth, pengenalan akan Allah adalah "akibat dari pertemuan dengan Allah, yang sebenarnya adalah akibat dari pertemuan dengan Kristus, karena Kristus adalah wahyu Firman Allah kepada manusia." "Alkitab adalah Firman Allah sejauh Allah berbicara melaluinya... oleh karena itu Alkitab menjadi Firman Allah pada peristiwa itu... ." Jikalau pengenalan akan Allah adalah sesuatu yang subyektif dan eksistensial maka teologia yang berkerangka, suatu sistem teologia dengan kalimat-kalimat proposisi di dalamnya harus ditolak. Dan memang inilah yang terjadi pada teologia Barth sebagaimana yang dikemukakan oleh Eberhard Jungel, guru besar Teologi Sistematika di Universitas Tubingen, murid terdekat Barth bahwa "teologia Barth adalah... musuh dari sistem-sistem... tulisan sistematisnya Church Dogmatics ... menghasilkan koreksi yang konstan... hal ini menjelaskan perubahan penting dalam perkembangan teologia Barth." Allah yang dipercayai Barth sebagai the wholly other, yang lain sama sekali, adalah Allah yang "tetap bebas, bebas dari keterikatan dalam formulasi doktrin bahkan bebas dari masa lampau di mana Ia 'pernah' menyatakan diri-Nya.
Allah memang tidak bisa dikurung oleh formulasi doktrin. Namun demikian kita perlu sadar bahwa kurungan yang diberikan kepada Allah bukan datang dari luar diri-Nya melainkan dalam diri-Nya sendiri. Hal ini lebih tepat bukan disebut sebagai kurungan melainkan sebagai integritas. Allah memang bebas tetapi kebebasan Allah tentu terikat oleh integritas sifat yang lain, misalnya kekudusan. Itu sebabnya, Alkitab tidak perlu dilihat sebagai sebuah pembatasan terhadap Allah yang dilakukan oleh manusia, melainkan bahwa Allah memilih untuk membatasi diri-Nya dalam bahasa manusia ketika Ia berkomunikasi dengan manusia - sebagimana yang Ia lakukan ketika memberi nama. Pembatasan ini adalah kerendahan hati Allah yang memuncak pada saat Allah membatasi diri dalam Yesus Kristus yang berinkarnasi. Jadi, kita tetap bisa mengenal Allah melalui Alkitab sebagai wahyu Allah. Sementara, teologia tetap terbuka untuk dikoreksi oleh Alkitab, jika teologia mulai memberikan pembatasan kepada Allah. Dan teologia juga tidak boleh mengurung pengalaman religius orang percaya dalam kebenaran ketika mereka juga mengalami existencial encounter ketika membaca dan merenungan Alkitab sebagai Firman Allah.

Kesimpulan dan Audiens Teologia
Melihat berapa pentingnya berteologia bagi orang percaya maka kita sadar bahwa setiap orang adalah teolog karena mereka berespon kepada Allah. Secara luas, setiap orang yang beragama sedang berteologia. Sedangkan secara khusus, setiap orang yang percaya kepada Allah Tritunggal, yang percaya Alkitab adalah Firman Allah harus berteologia.

Dari tulisan yang lalu, kita telah melihat pentingnya teologia itu. Pertanyaannya sekarang adalah, dari sumber manakah kita harus mulai. Pertanyaan ini diberikan karena teologia bukan sesuatu yang ada pada dirinya Sendiri melainkan "dari setiap sistim teologia merefleksikan penggunaan norma-norma tertentu yang berfungsi sebagai sumber-sumber tertentu yang dipakai oleh teolog menjalankan mandat teologia." Oleh sebab itu, dalam tulisan ini kita mencoba memikirkan hal-hal apa saja yang dapat merupakan sumber yang sah bagi teologia baik secara deskriptif maupun preskriptif.
Yang pertama-tama perlu kita pikirkan bahwa sumber-sumber berperan dalam empat hal penting belajar dan mengerjakan teologia. Pertama, sumber-sumber teologia membuka wadah pergumulan kita dalam berteologia. Tanpa sumber-sumber itu, kita
tidak tahu apa yang harus digumulkan dalam teologia. Meski demikian, banyak kali, di bawah sadar sebetulnya kita sudah menggunakan sumber-sumber itu. Kedua, sumber-sumber teologia memberikan isi kepada teologia. Hal-hal yang digumulkan dalam wadah pergumulan harus mendapatkan jawaban pertama-tama dari Alkitab secara langsung dan kedua dari pergumulan sejarah gereja akan Alkitab. Dalam hal ini sekali lagi, Alkitab mengambil tempat yang terutama. Ketiga, sumber-sumber
memberikan masukan pendekatan berteologia. Sifat dari tiap sumber memunculkan metode pengetahuan yang berbeda. Terakhir, sumber-sumber membantu kita menggumulkan kerangka teologia. Misalnya kita mempelajari kerangka yang dibangun oleh sejarah gereja. Jadi, dalam mempelajari sumber-sumber teologia, kerangka-kerangka ini menolong kita.

Pengajaran Roma Katolik
Dua sumber utama dalam mengenal Yesus Kristus (baca: dalam berteologia) menurut Roma Katolik adalah Tradisi dan Kitab Suci. Penetapan ini berdasarkan forum resmi Gereja Roma Katolik seluruh dunia yaitu Konsili Vatikan II pada 18 November 1968. Tradisi yang dimaksudkan oleh Roma Katolik adalah ''proses komunikasi iman dari satu angkatan kepada angkatan berikut dan orang sezaman." Hal-hal yang dikomunikasikan oleh tradisi adalah "dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya." Tradisi mendapat tempat yang penting sebagai sumber teologia dalam Roma Katolik berdasarkan asumsi bahwa keseluruhan orang beriman tidak dapat sesat dalam beriman dan bahwa bimbingan yang diberikan oleh para uskup/ pemimpin juga tidak dapat sesat. Di dalam salah satu pasal dari Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa "keseluruhan kaum beriman, yang telah diurapi oleh (Roh) Yang Kudus, tidak dapat sesat dalam beriman; dan sifat yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman segenap umat, bila - dari uskup hingga para awam beriman yang terkecil - secara keseluruhan menyatakan kesepakatan tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan."
Sementara mengenai bimbingan yang diberikan oleh para uskup dan mereka yang berwenang mengajar yang suci, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa "...Begitu juga ketidaksesatan dalam bimbingan tidak dimiliki oleh uskup-uskup perorangan, juga tidak oleh Paus, melainkan oleh para uskup bersama sebagai dewan pimpinan Gereja dan Paus sebagai kepala dewan itu." Ini berarti, tradisi yang berpusat pada pergumulan iman gereja dan bimbingan para pemimpin gereja merupakan sumber yang penting bagi proses berteologia dalam Roma Katolik. Namun demikian, pihak Roma Katolik sendiri menolak pernyataan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang "kolot." Menurut pihak Roma Katolik, tradisi bersifat "penyerahan, penerusan dan komunikasi terus-menerus...sesuatu yang masih terjadi sekarang ini juga. Gereja yang hidup dan berkembang, itulah tradisi. Gereja dan tradisi sama. Tradisi adalah paham gereja yang dinamis."
Sementara di pihak lain, Kitab Suci juga merupakan sumber kedua yang penting dalam berteologia bagi Roma Katolik. Kitab Suci-khususnya Perjanjian Baru merupakan tradisi yang perdana yaitu gereja perdana merupakan dasar dan inti pokok untuk tradisi berikutnya. Perjanjian Baru merupakan pusat dan sumber dari seluruh tradisi, "bukan karena tulisan atau rumusannya, melainkan karena iman Gereja perdana yang terungkap di dalamnya." Sementara Perjanjian Lama merupakan pelaksanaan karya keselamatan dalam sejarah Israel yang akan mencapai puncak dan kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Jadi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru "merupakan ungkapan dan rumusan tradisi sebagai pertemuan dan kesatuan antara Allah dan manusia." Hal ini berarti bahwa tradisilah yang menentukan Kitab Suci atau dengan kata lain, Kitab Suci dibaca dalam kerangka tradisi. "Tradisi mempunyai titik beratnya dalam Kitab Suci, tetapi tidak terbatas pada Kitab Suci." Sebaliknya, "kalau Kitab Suci dilepaskan dari tradisi, ia kehilangan arti dan fungsinya." Meskipun demikian, Roma Katolik tetap menerima seluruh Kitab Suci sebagai "sabda Allah yang ditanggapi manusia dalam iman."
Kita melihat bahwa Roma Katolik mementingkan tradisi dan dengan demikian mementingkan gereja. Gereja yaitu suatu organisasi eksternal di bawah pimpinan Paus mendapat tempat yang utama. Gereja dan tradisi yang adalah sama menentukan segala sesuatu. Inilah yang pertama-tama tidak bisa diterima oleh Martin Luther. Sejarah mencatat bahwa pemicu Reformasi Luther adalah penjualan surat penghapusan siksa bagi orang-orang berdosa oleh Tetzel. Hal ini berarti Luther pada waktu itu melihat otoritas Gereja sudah sedemikian jauh dalam kehidupan orang percaya, sampai termasuk hal-hal yang merupakan privasi antara orang percaya dan Tuhan yaitu penyesalan dan pengampunan dosa. Lagi, asumsi bahwa orang beriman dan para pemimpinnya tidak mungkin sesat adalah asumsi yang bertentangan dengan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa meskipun kita sudah ditebus oleh Tuhan, kitapun masih mungkin jatuh dalam dosa. Luther mengatakan bahwa meskipun kita sudah memperoleh status yang baru melalui pembenaran yang sejati kita tetap adalah semper iustus et peccator ("selalu sekaligus orang benar dan juga orang berdosa"). Dengan demikian, jika asumsi-asumsi yang dipakai adalah salah maka tradisi tidak dapat menjadi otoritas mutlak bagi teologia dan juga menjadi penentu bagi Alkitab sebaliknya, Alkitab yang adalah Firman Allah-lah yang harus menjadi otoritas mutlak dan penentu bagi teologia. Dan malahan, bukan saja teologia harus berada di bawah 'penghakiman' Alkitab melainkan teologia juga bertugas untuk "mempertimbangkan tradisi di bawah terang firman Tuhan."

Pengajaran John Calvin
Pada pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa Calvin memikirkan dua macam pengetahuan yang saling terkait yaitu pengetahuan atau pengenalan akan Allah dan akan diri sendiri. Sekarang, ketika membicarakan mengenai pengenalan akan Allah sebagai pencipta, Calvin mengatakan bahwa Alkitab sangat diperlukan dalam pengenalan akan Allah selain ciptaan yang sudah menyatakan Allah kepada semua orang tanpa kecuali. Calvin melihat Alkitab - dibandingkan dengan wahyu umum sebagai "tanda yang lebih langsung dan lebih pasti dalam memperkenalkan diri-Nya." Ada beberapa alasan mengapa Alkitab begitu penting. Pertama, Alkitab adalah Firman Allah. Kedua, tanpa Alkitab kita akan jatuh kepada kesalahan dalam mengenal Allah. Calvin mengatakan "Jika kita beralih dari Firman, seperti yang baru saya kemukakan, meskipun kita berusaha dengan suatu upaya yang mati-matian, tetapi karena kita keluar dari track, kita tidak akan pernah mencapai tujuan (untuk mengenal Allah)." Ketiga, Alkitab mengkomunikasikan kepada kita hal-hal tidak dapat dilakukan oleh wahyu di dalam ciptaan. Jadi bagi Calvin, Alkitab merupakan otoritas tertinggi dalam seluruh pergumulan teologis orang percaya.
Alkitab yang merupakan otoritas tertinggi bagi orang percaya mendapat otoritasnya bukan dari gereja melainkan dari Tuhan sendiri. Calvin berkata bahwa "Alkitab mempunyai otoritas penuh atas orang percaya jika manusia menghargai Alkitab sebagai yang turun dari surga, sebagai perkataan Allah yang hidup yang diperdengarkan. Sebaliknya, ketika orang percaya memberikan pertanyaan yang meragukan otoritas Alkitab sebagai Firman Allah, misalnya "siapakah yang dapat meyakinkan kita bahwa tulisan-tulisan ini datangnya dari Allah?", mereka sedang menghina Roh Kudus. Hal ini disampaikan Calvin berdasarkan alasan bahwa "bukti yang tertinggi dari Alkitab secara umum berasal dari fakta bahwa Allah secara pribadi berbicara dalamnya." Dan apa yang disampaikan Allah dalam Alkitab, disaksikan secara rahasia oleh Roh Kudus - dan hal ini melampaui semua pikiran, penghakiman dan alasan-alasan manusiawi. Roh Kudus yang berbicara melalui mulut para rasul dan nabi, Roh Kudus yang sama juga yang akan memberikan kesaksian tentang otoritas Alkitab sebagai Firman Allah. Dan tentunya, Alkitab yang juga bersifat self-authenticated (bersaksi bagi dirinya sendiri). Jadi, sebagaimana yang dikemukakan Pengakuan Iman Westminster, otoritas final dalam pergumulan teologis gereja adalah "Roh Kudus yang berbicara dalam Alkitab."

Pengajaran Charles Hodge
Pada pembahasan sebelumnya, kita juga telah melihat bahwa teologia, bagi Hodge, merupakan sebuah koleksi dan kerangka dari fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab. Maka, konsisten bagi Hodge, Alkitab mengandung semua fakta dari teologia. Hal ini menurut Hodge, merupakan sebuah konsistensi yang sempurna antara struktur kita sebagai rational and moral beings di satu pihak dan kuasa pengontrolan atas kepercayaan kita oleh pengajaran Roh Kudus di pihak lain. Ada dua alasan untuk ini. Pertama, semua kebenaran pasti konsisten karena Allah tidak mungkin berkontradiksi pada diri-Nya sendiri. Hal ini berarti, apa yang Allah inginkan untuk kita percayai (benih kepercayaan dalam natur kita) dengan apa yang ada dalam firman-Nya tidak mungkin bertentangan. Alasan kedua, semua kebenaran baik yang ada pada natur kita dan apa yang kita alami melalui tuntunan Roh Kudus (pengalaman Agama) sudah diperkenalkan secara resmi dalam Alkitab. Alkitab merupakan safeguard and limit. Dan yang penting adalah bahwa "tidak ada bentuk keyakinan yang lebih intim dan bersifat tidak bisa gagal dibandingkan dengan pengajaran internal dari Roh Kudus." Sebagai kesimpulan Hodge mengatakan "Alkitab bukan saja memberikan fakta-fakta mengenai Allah dan Kristus, diri kita dan hubungan kita dengan Pencipta dan Penebus kita tetapi juga rekaman-rekaman tentang efek yang pasti terjadi dari kebenaran-kebenaran yang ada dalam pikiran orang percaya. Sehingga, bahwa kita tidak dapat mengharapkan perasaan atau pengalaman batiniah kita sebagai dasar atau petunjuk kecuali kita dapat menunjukkan bahwa hal itu (perasaan dan pengalaman batiniah kita) sesuai dengan pengalaman dari orang-orang kudus sebagaimana yang dicatat dalam Alkitab."

Pengajaran Millard J. Erickson
Millard Erickson mengemukakan satu pertanyaan yang penting "mengapa Alkitab harus merupakan sumber dan kriteria utama dalam membangun pengertian kita tentang teologi Kristen atau bahkan tentang kekristenan." Jawaban yang hendak diberikan oleh Erickson adalah dengan meneliti sifat dari kekristenan. Menurutnya, kekristenan bukanlah lembaga yang memiliki beberapa sasaran, tujuan atau dasar penentu. Kekristenan adalah "suatu gerakan yang mengikuti Yesus Kristus." Oleh karena itu, seluruh pergumulan kekristenan bergantung kepada pengajaran Tuhan Yesus. Di luar Alkitab, menurut Erickson, hampir tidak ada informasi mengenai apa yang dilakukan dan diajarkan oleh Yesus. Hanya di dalam Alkitab yaitu seluruh kitab Injil. Setelah kitab-kitab Injil, menyususl kitab-kitab yang disahkan oleh Tuhan Yesus sendiri (Perjanjian Lama). Meskipun Erickson tidak membicarakan surat-surat Paulus dan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru, ia tetap mengakui seluruh Alkitab sebagai sumber utama. Namun demikian, Erickson juga tidak mengesampingkan semua sumber lainnya sama sekali. Alasannya, Allah juga menyatakan diri-Nya dengan cara-cara umum di berbagai bidang seperti alam dan sejarah (yang juga dibicarakan dalam Alkitab).

Pengajaran Stanley Grenz
Grenz menyimpulkan tiga sumber utama atau norma bagi teologia yaitu berita Alkita, warisan teologis dari gereja dan bentuk-bentuk berpikir dari konteks historis-kultural bagi orang-orang di mana Allah sedang berbicara dan bertindak kepada mereka (kontemporer). Yang pertama, bagi Grenz, yang terpenting untuk diteliti oleh teologia adalah Alkitab sebagaimana yang dikanonisasikan oleh gereja. Dalam penjelasannya, Grenz mengemukakan beberapa fungsi dari Alkitab. Alasannya adalah, berdasarkan natur teologia yang merupakan refleksi dan artikulasi iman dan iman merupakan respon kita kepada Tuhan yang berkontak dengan kita dalam penyataan diri-Nya yang historis maka teologia kita harus dengan serius memperhatikan kabar baik yang sudah dikemukakan pada kebudayaan kuno. Kita harus pertama-tama memperhatikan pekerjaan keselamatan yang Allah kerjakan dalam sejarah Israel, Yesus dan gereja mula-mula. Grenz menolak untuk mengikuti tradisi yang berusaha membuktikan Alkitab sebagai firman Allah. Hal itu sangat tidak penting menurutnya. Dalam berteologia, menurut Grenz, kita cukup berasumsi bahwa terdapat relasi integral antara teologi dengan komunitas orang beriman. Karena Alkitab merupakan dokumen dasar gereja yang sudah dikenal, beritanya berfungsi sebagai norma sentral bagi artikulasi sistematis iman dan komunitas. Ini adalah fungsi yang pertama.
Fungsi kedua, menurut Grenz, Alkitab berfungsi dalam gereja sebagai dokumen di mana Roh Kudus terus bekerja. Fungsi ketiga, Alkitab berhubungan dengan wahyu historis Allah. Wahyu menurut Grenz merupakan penyataan diri Allah supaya Ia dikenal. Wahyu merupakan grand climax of human history. Dan, dalam Alkitab, diceritakan mengenai bagaimana Allah membuka diri-Nya dalam sejarah untuk dikenal oleh manusia. Menurut Grenz, "Alkitab mengemas kesaksian dasar dari penyataan diri Allah dan rekaman bagaimana komunitas-komunitas iman zaman kuno berespon kepada kesadaran mereka bahwa Allah telah menjadikan mereka sebagai umat perjanjian-Nya. Fungsi yang terakhir adalah fungsi "regulatif." Fungsi ini dimengerti dalam hal bahwa komunitas orang percaya zaman dahulu menyediakan framework linguistik dan kultural di mana orang-orang zaman sekarang dapat mengerti kehidupan mereka dan mencoba menggumulkan kehidupan saat ini.
Sumber kedua adalah warisan teologis dari sejarah gereja. Gereja telah berjuang dalam iman dalam konteks historis dan kulturalnya dan hal itu masih menjadi hal yang penting bagi pergumulan teologia saat ini. Ada beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan sumber ini. Pertama, sifat instruktif, bahwa teologia masa lampau mengingatkan kita akan mandat teologis, menolong kita untuk terhindar dari kesalahan dan mendorong kita untuk berpegang pada sejumlah hal yang harus kita pegang saat ini. Selain itu, teologia masa lampau menjadi penting karena hal-hal tersebut telah melewati ujian waktu. Namun demikian, Grenz, tetap melihat bahwa semua pergumulan teologis masa lampau tetap harus diuji di bawah terang firman Tuhan.
Sumber yang terakhir adalah pergumulan pemikiran kebudayaan kontemporer. Kita menghidupi konteks di mana kita harus membawa berita kepada mereka dan ini penting untuk digumulkan saat ini juga.

Kesimpulan
Sesuai dengan penjelasan yang telah dikemukakan di atas disimpulkan bahwa:
1. Alkitab merupakan otoritas tertinggi bagi teologia. Alkitab pertama-tama menyediakan wadah pergumulan, menyediakan jawaban, mengkonstruksi kerangka dan memberikan metode. Sifat Alkitab menentukan bagaimana kita harus mendekatinya. Alkitab juga adalah hakim atas tradisi dan teologia.
2. Warisan teologia masa lampau berperan sebagai wadah pergumulan, usulan jawaban, bantuan bagi kerangka dan contoh dari metode. Namun warisan teologia masa lamapau bukanlah hakim atas teologia dan tradisi.
3. Pergumulan kebudayaan dan pengalaman imana masa kini memberikan wadah bagi pergumulan, tuntutan jawaban, tantangan bagi kerangka dan ujian bagi metode teologia kita. (Tamat)

Antonius Steven Un menyelesaikan Sarjana Komputer di Universitas Bina Nusantara, Jakarta dan Master of Divinity di Intitut Reformed Jakarta. Saat ini melayani di GRII Bandung & MRII Semarang. Tulisan-tulisannya tentang teologi, filsafat dan kebudayaan pernah dimuat di Jawa Pos, Suara Pembaruan, Sinar harapan, Investor Daily, Surya, SINDO sore, Kompas Jawa Timur dan Suara Karya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar