Jumat, 12 Maret 2010

KRISTUS DAN KEKRISTENAN

Oleh: Warisman Harefa

Latar Belakang
Hubungan Kristus dengan kekristenan, pada prinsip dasarnya membahas persatuan legal dan organis di dalam Kristus. Secara legal, persatuan ini terjadi dalam musyawarah Allah Tritunggal bahwa Pribadi Kedua secara sukarela menjadi Jaminan bagi umat pilihan untuk menebus mereka dari hukuman dosa dengan jalan Kristus mengenakan natur manusia dan taat kepada Bapa (I Pet 1:20). Dalam kesepakatan ini, Kristus datang menanggung dosa dan kesalahan manusia dan kebenaran-Nya diperhitungkan kepada manusia yang diwakili-Nya di hadapan Bapa. Persatuan ini hanya dimungkinkan melalui kematian Kristus sebagai korban Pengganti. Dengan demikian, persatuan ini juga sekaligus bersifat organis karena berkat-berkat dari covenant antara Bapa – Anak, yaitu hidup kekal akan mengalir kepada kelompok manusia yang diwakili Kristus. Perjanjian antara Bapa – Anak berisi syarat dan berkat, sama seperti perjanjian antara Allah dan Adam di Taman Eden. Anak harus taat kepada Bapa dan berkatnya adalah hidup kekal bagi mereka yang percaya kepada Anak. Dalam perjanjian ini Kristus datang menjadi Adam kedua. Ia sama seperti Adam yang mewakili umat pilihan untuk menebus mereka. Kristus dan umat pilihan-Nya bukan saja hanya terikat secara hukum di hadapan Allah tetapi juga terikat secara organis karena umat yang diwakili-Nya akan memiliki hidup yang mengalir dari Kristus sebagai kepala perjanjian. Paulus menjelaskan hal ini, ” Sebab, jika oleh dosa satu orang, maut telah berkuasa oleh satu orang itu, maka lebih benar lagi mereka, yang telah menerima kelimpahan kasih karunia dan anugerah kebenaran, akan hidup dan berkuasa oleh karena satu orang itu, yaitu Yesus Kristus. Sebab itu, sama seperti oleh satu pelanggaran semua orang beroleh penghukuman, demikian pula oleh satu perbuatan kebenaran semua orang beroleh pembenaran untuk hidup” (Roma 5:17-18).
Menjelaskan persatuan antara Kristus dan orang percaya, Herman Ridderbos dalam karyanya Paulus: Pemikiran Utama Theologinya menuliskan, ”Di perikop ini Paulus menjelaskan bahwa mereka yang yang diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Kristus, akan hidup pula bersama Dia di masa mendatang. Menurut Paulus, ikatan yang mempersatukan semua keturunan Adam dengan nenek moyang mereka merupakan pola dan gambaran dari persekutuan Kristus dengan milik-Nya. Di sini Paulus tidak memakai rumusan ” di dalam Adam”, tetapi ia menyebut pelanggaran Adam sebagai dosa semua orang.1 Penjelasan Paulus dalam membandingkan Kristus dengan Adam, ia menunjukkan bahwa Kristus sama seperti Adam sebagai pribadi universal atau pribadi korporat, dimana manusia yang diwakilinya mengambil bagian di dalam-Nya. Karena manusia yang diwakilinya berbagian di dalam Kristus maupun di dalam Adam, maka mereka (umat yang diwakili) hanya dapat dikenali melalui mereka (Kristus atau Adam).
Mengenal dan memahami hubungan keterkaitan di antara keduanya ini sangat penting, karena adanya disklaim terhadap pemahaman kekristenan. Disklaim yang dimaksud adalah bahwa ada orang-orang Kristen yang mengakui finalitas Kristus dan penebusan-Nya tanpa mengakui finalitas kekristenan.2 Hal ini dipengaruhi oleh sikap hidup dalam toleransi beragama, khususnya dalam masyarakat majemuk. Dengan demikian, kekristenan tidak harus final karena menyakiti perasaan penganut agama lain.
Toleransi beragama yang berlebihan ini akibatnya membawa perbedaan interpretasi mengevaluasi kekristenan. Di dalam dan melalui pendekatan sosio-kultural, memang kekristenan adalah salah satu agama di antara agama-agama lain. Ini dapat berarti bahwa kekristenan adalah organisasi gereja yang kelihatan. Dengan demikian kekristenan dimengerti sebagai tubuh Kristus yang bersubastansi corpus christianum. Pada abad pertengahan ketika kekristenan mendominasi peradaban Barat, Roma Katolik menggunakan istilah kekristenan sebagai institusi eksternal (ecclesia representative) atau penyalur berkat-berkat keselamatan.3 Ini mengakibatkan gereja menjadi pengendali segala kegiatan manusia dengan menempatkan pengantara manusia sebagai imam dan mengabaikan persekutuan antara Tuhan dan anak-anak-Nya secara langsung atau tidak langsung.4 Hal ini dapat diuraikan dengan pentingnya penguasa-penguasa gereja sebagai wakil Yesus Kristus yang adalah kepala gereja. Segala kegiatan adalah kegiatan seluruh tubuh Kristus atau dapat dikatakan corpus christianum. Dari pemahaman kekristenan dalam aspek sosio-kultur maka keunikan kekristenan tidak dipandang lagi sebagai tubuh Kristus yang dicangkokkan dalam karya penebusan Kristus. Tetapi keunikan kekristenan dipahami sebagai realitas unik dalam semesta hubungan yang saling mempengaruhi antar agama, dalam arti kekristenan tidak muncul keterpisahan atau keberbedaan sama sekali dengan yang lain.5
Banyak ahli agama dan sejarah agama mengamati kepelbagaian agama yang tersebar di dunia ini. Agama ini menyentuh setiap pribadi manusia dari berbagai lapisan, mulai dari kelompok masyarakat primitif sampai masyarakat modern dan kaum intelektual. Agama sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak bisa dipisahkan, maka ditemukan sekian banyak agama yang masing-masing mencari jalannya sendiri dalam mencari dan bersekutu dengan yang ilahi. Pencarian ini adalah untuk menemukan kuasa atau pribadi yang lebih berkuasa dari manusia untuk menolong manusia dari berbagai ketakutan dan mencari kedamaian. Sehingga objek yang dianggap ilahi ini dipikirkan baik secara kelihatan material ataupun secara roh imaterial. Maka, orang-orang Kristen yang menggunakan pendekatan dalam mengevaluasi kekristenan dalam sisi sosio-kultural, melihat kekristenan sebagai salah satu agama dari antara agama-agama yang tampil itu, dengan berbagai aliran dan kelompok organisasi di dalamnya.
Tetapi pada sisi yang lain, jika kekristenan dapat dipahami secara esensinya melalui evaluasi asal-muasal kekristenan maka kekristenan adalah gereja yang tidak kelihatan yaitu komunitas orang-orang percaya yang mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Joseph Tong menjelaskan hakekat kekristenan ini, ”Memandang gereja sebagai badan orang-orang percaya, maka kita akan senantiasa diingatkan bahwa tubuh Kristus, Corpus Christi, imannya yang hidup telah dicangkokkan dalam anugerah keselamatan Kristus, dan tidak akan pernah mati. Biarlah Corpus Christi memapankan diri sebagai saksi hidup bagi Kristus, sampai hari kedatangan-Nya. Sementara, kita telah bekerja keras untuk mencapai puncak pengharapan-Nya bagi tubuh duniawi-Nya, corpus christianum.6 Hakekat kekristenan ini secara sederhana menunjukkan bahwa kekristenan adalah produk karya Allah dalam pewahyuan-Nya. Hal yang penting adalah bahwa kekristenan bukan sekedar pewahyuan umum seperti yang terlihat dalam anugerah umum-Nya. Dalam pengertian tertentu bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya kepada setiap orang melalui alam semesta dan hati nurani manusia. Pada batas tertentu orang tidak percaya dan orang percaya memiliki kesamaan dalam hal pengetahuan tentang Allah, yaitu: kontrol, otoritas, dan kehadiran Allah.7 Tetapi kekristenan lahir dari pewahyuan khusus Allah, yaitu asal-muasal kekristenan tertanam dalam Yesus Kristus sebagai penyataan Allah yang final. Pengakuan iman kita kepada-Nya sebagai Allah dan Juruselamat membawa kita terhisap di dalam persatuan dengan-Nya. Inilah sebabnya, kekristenan bukan suatu agama yang berkembang, juga bukan suatu agama yang orientasinya proses. Kita tidak menegaskan pewahyuan progresif, selain memproklamasikan fakta pertumbuhan progresif dari komunitas yang hidup dan ungkapan iman serta prakteknya. Gereja akan bertumbuh, bukannya Kristus dan juga bukan kebenaran Kristus, putra Allah, Juruselamat kita. Terhadap keunikan inilah, kita memproklamasikan finalitas kekristenan bersama-sama dengan finalitas Kristus. Secara bersahaja dan setia pada kebenaran yang meneguhkan iman, di dalam satu-satunya Juruselamat yang telah memanggil kita, menjadi suatu komunitas orang-orang percaya yang dibedakan.8

Keistimewaan Yesus Sebagai Keunikan Kekristenan
Apa keunikan kekristenan sebagai keunggulannya dari agama-agama lain? Unsur manakah yang mempersatukan semua organisasi dari berbagai aliran dalam kekristenan? Jawaban satu-satunya adalah pribadi Yesus Kristus. Menurut Michael Eaton dalam karyanya Jesus Of The Gospels menuliskan, ”Seluruh rahasia kehidupan Kristen adalah pandangan kepada Yesus. Kita memandang pribadi-Nya – Dia adalah Allah dan manusia. Kita memandang karya-Nya – Dia telah hidup bagi kita dan mati bagi kita. Kita memandang pada posisi-Nya saat ini – Dia bangkit bagi kita, ditinggikan bagi kita, berdoa bagi kita.”9 Dalam Kisah Para Rasul 11:26 nama Kristen muncul pertama sekali bagi mereka yang percaya kepada Yesus Kristus, yang disalibkan, mati dan bangkit kembali. Penyebutan ”Kristen” kepada pengikut Kristus pertama kalinya di Antiokhia diberikan oleh orang-orang luar, untuk membedakan mereka dari orang-orang Yahudi di negeri Siria, karena mereka menghubungkan dirinya dengan seseorang yang diberi gelar Kristus.10 Sepertinya ini adalah lumrah berlaku dalam mengidentifikasi kelompok tertentu. misalnya, pengikut John Calvin dinamakan Calvinisme, pengikut Martin Luther dinamakan Lutheranisme, pengikut Buddha dinamakan Budhaisme dan masih banyak lagi. Ini menunjuk kepada nama keyakinan dalam usaha menghubungkan dirinya dengan si pembawa ajaran itu.
Memang setiap agama yang muncul atau aliran kepercayaan dan pengetahuan tidak terlepas dari keterhubungannya dengan tokoh historis tertentu. hal dijelaskan oleh Groenen, ”Agama Yahudi menghubungkan diri dengan Musa sebagai pendirinya dan agama Islam mengaitkan dirinya pada Nabi Mohammad. Begitupun agama Budha menggabungkan diri dengan tokoh itu. Orang Islam tentu saja sangat menghormati Mohammad, dia itulah yang menyampaikan firman Allah yang terakhir. Dengan kelakuannya beliau menafsirkan dan menerangkan firman Allah itu. Orang Yahudi menghormati nabi Musa sebagai nabi paling besar yang menyampaikan hukum Allah. Maka yang paling penting dalam agama Islam dan Yahudi bukanlah Muhammad atau Musa, melainkan firman Allah yang mereka sampaikan dan terangkan. Firman itu termaktub dalam kitab kudus (Qur’an, Taurat), berupa wejangan dan petunjuk. Dengan kematiannya peranan Musa dan Muhammad sudah selesai. Mereka meninggalkan panggung sejarah dan tidak berperanan lagi. Sama seperti orang lain mereka pergi dan tidak akan kembali. Orang Budha pun menjadi penganut ajaran dan wejangan penyelamatan yang disampaikan Guru yang mahabesar itu. Dan agama Hindu, sejauh agama historis, berpusatkan kitab kudus pula”.11
Keterhubungan Kristen kepada Kristus tidak didasarkan pada kitab atau ajaran yang diajarkan Yesus. Kekristenan berpusatkan pada diri Yesus Kristus sebagai Allah dan Juruselamat. Dengan tegas Michael Eaton mengatakan bahwa ”Kekristenan adalah Kristus”.12 Mengidentikkan kekristenan dengan Kristus bukan berarti bahwa Kristen sama dengan Kristus. Tetapi, pernyataan ini menunjukkan bahwa agama Kristen bukan agama buku, bukan juga sebuah filosofi yang sedang mengembara mencari pijaran kebajikan, dan bukan juga sebuah agama yang hanya sekedar membatasi diri pada moralitas, walaupun semuanya itu memang ada dalam kekristenan. Yang lebih penting, bahwa kekristenan adalah berakar, dibangun, di dalam dan melalui Kristus (Kol 2:7). Pernyataan ini semakin menarik dalam pewartaan orang Kristen mula-mula. Pada hari Pentakosta, ketika Petrus berdiri dan mulai memberitakan Injil, ia menutup pemberitaannya dengan mengatakan, ”Jadi seluruh orang Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan Kristus.
Nama Kristus adalah sebuah gelar atau jabatan dan bukan nama diri. ”Nama Kristus itu merupakan bentuk yang setara dengan nama Maschiach yang dipakai dalam Perjanjian Lama (diambil dari kata Mashach, yang artinya ’mengurapi’) dan dengan demikian nama ini berarti ’Yang diurapi’.”13 J. Verkuyl menguraikan hubungan nama ini dalam karyanya Aku Pertjaja, ”Dalam Alkitab dan dalam gereja Kristen Tuhan Yesus selalu disebut: Kristus. Kristus adalah perkataan Yunani artinya ’yang diurapi’. Dalam bahasa Ibrani disebut Masjiach atau Mesias, Almasih. Apabila gereja menyebut Tuhan Yesus: Sang Kristus maka jabatan Tuhan Yesus yang ditunjukkan. Yesus, itulah namaNya, nama pribadiNya. Kristus itulah nama jabatanNya. Nama jabatan itu menunjukkan tugas atau kewajiban yang telah dan sedang dilakukanNya di surga dan di dunia”.14
Yesus orang Nazaret, yang dikenal dengan seorang tukang kayu yang dibunuh oleh tokoh-tokoh agama Yahudi adalah Kristus atau Mesias. Kedudukan dan peranan Yesus sekarang dalam pemberitaan para rasul merupakan pengharapan yang sedang dinantikan oleh orang Yahudi akan kedatangan seorang Penyelamat. Karena nama Mesias memiliki latar belakang sebagai seorang Penyelamat atau tokoh pembebas yang diharapkan oleh orang Yahudi sebagai wakil Allah untuk pembentukan zaman baru bagi umat-Nya.15
Menurut latar belakang Perjanjian Lama, jabatan Mesias tidak dipakai untuk penyelamat yang akan datang karena Allah sendiri yang akan menyelamatkan umat-Nya.16 Yang diberitakan oleh para nabi adalah kedatangan masa kemesiasan yang membawa masa depan yang cerah bagi umat Allah (Yes 26 – 29, 40; Yeh 40 – 48; Dan 12; Yl 2:28 – 3:21).17 Namun dalam Perjanjian Lama, ada gagasan mengenai pengurapan seseorang untuk misi khusus yang bisa ditujukan kepada imam-imam, raja-raja, nabi-nabi. Orang-orang yang terpanggil memangku jabatan ini diresmikan dengan cara diurapi dengan minyak urap yang mengalir dari kepalanya meliputi badannya.18 Tujuan dari pengurapan ini adalah seseorang itu dipanggil untuk tugas yang istimewa sehingga untuk menjalankannya butuh anugerah Tuhan yang mengisi hidupnya.19 Tetapi para imam, nabi dan raja dalam Perjanjian Lama adalah orang-orang yang cacat dan berdosa sehingga istilah ini mengarah kepada pribadi khusus yang diurapi oleh Allah untuk menyelamatkan umat-Nya, yang datang sebagai nabi, imam dan raja sesungguhnya.20 Dengan melihat kebangkitan Yesus dari antara orang mati, maka murid-murid-Nya menegaskan bahwa Yesus adalah utusan khusus Allah yang diurapi untuk membawa pengharapan bagi umat-Nya. Kebangkitan-Nya tidak lain adalah pelantikan-Nya untuk menggenapkan pengharapan umat Allah akan keselamatan (Kis 3:18-26). Begitu Yesus bangkit dari kematian, suatu pemenuhan janji Allah yang menyatakan bahwa Allah berkarya menyelamatkan manusia hanya melalui Raja Penyelamat itu, yaitu: Yesus Kristus.
Dengan posisi Yesus yang istimewa ini maka seluruh penulis Perjanjian Baru memberitakan bahwa Yesus adalah Allah, penggenapan janji Allah, sehingga seluruh pekerjaan-Nya, pengajaran-Nya semata-mata hanya untuk menunjukkan keilahian-Nya. ”Jadi yang diajarkan bukanlah ajaran Yesus, bukan karya-Nya dahulu, bukan sengsara-Nya, melainkan kedudukan-Nya sekarang”.21

Kesimpulan
Keunikan kekristenan yang merupakan hasil produk Allah sendiri dalam penyataan khusus-Nya, membawa kita pada beberapa kesimpulan dalam memahami kekristenan:
a.Secara organisasi, kekristenan merupakan sebuah agama dari penebusan dan penyucian yang datang kepada manusia yang berdosa, dengan pengampunan dan pembaharuan baru oleh anugerah Allah untuk menyelamatkan dan memberi kekuatan baru oleh Roh Kudus, sebagai hal yang memungkinkan untuk menikmati kehidupan baru di dalam Kristus.
b.Secara ontologi, kekristenan terdiri dari nilai-nilai yang secara intrinsik mengandung kekekalan, membuktikan diri sendiri benar dan bernilai, memeluk kebenaran dan keindahan serta disempurnakan dalam kebaikan yang menuju kesempurnaan.
c.Secara psikologi, kekristenan adalah pengalaman seseorang yang dikuduskan dan ditransformasi oleh Roh Kudus yang membawa pengaruh besar dalam pemikiran melalui pelatihan iman. Sehingga manusia yang dicipta dengan pikiran, perasaan dan kehendak mampu memadukan ketiganya dalam keharmonisan untuk menghasilkan kehidupan yang berlimpah dalam Roh.

Memahami Doktrin Tritunggal

Oleh Muriwali Yanto Matalu

Dalam pembahasan tentang Tritunggal ini, saya menggunakan kembali sedikit bahan saya dalam edisi ke 8 yang menyinggung tentang Tritunggal dalam artikel “Yesus: Tuhan dan Juru Selamat Satu-Satunya.”
Banyak orang membahas Tritunggal ekonomis, yakni membicarakan Tritunggal berdasarkan fungsi dan kaitan-Nya dengan ciptaan dan mengabaikan pembahasan Tritunggal ontologis. Yang dimaksud dengan Tritunggal ontologis adalah Tritunggal di dalam Diri-Nya sendiri. Pembahasan saya di sini lebih menyentuh aspek ontologis dari pada ekonomis.
Orang-orang unitarian1 sangat gigih melakukan perlawanan terhadap kebenaran iman Kristen yang bersifat historis, yakni kepercayaan bahwa Yesus adalah Allah sejati. Dengan menolak kebenaran bahwa Yesus adalah Allah sejati, maka dengan sendirinya mereka menolak Doktrin Allah Tritunggal.
Memang doktrin Allah Tritunggal merupakan doktrin yang sulit dimengerti, bahkan tidak mungkin dimengerti dengan tuntas. Ini yang menjadi alasan mengapa analogi apa pun tidak mungkin bisa menjelaskan Tritunggal. Seperti sudah sering dikatakan bahwa yang terbatas yaitu manusia tidak mungkin bisa memahami Allah yang tidak terbatas secara tuntas.
Dalam bab ini, saya ingin memberikan penjelasan dari fakta Alkitab (wahyu khusus) dan penjelasan secara filosofis (wahyu umum), yang justru membuktikan bahwa Allah adalah mutlak bersifat Tritunggal.
Istilah Tritunggal tidak pernah muncul di dalam Alkitab, tetapi apa yang tidak muncul secara istilah, tidak berarti bahwa itu tidak diajarkan oleh Alkitab. Alkitab sering mengajarkan konsep-konsep kebenaran yang secara istilah tidak ditemukan di dalamnya. Doktrin Tritunggal, masuk di dalam golongan ini. Lalu kita mungkin bertanya, adakah dasar Alkitab yang kuat bagi doktrin ini? Baik di dalam PL maupun PB bertebaran begitu banyak ayat yang mengajarkan konsep Tritunggal. Baik ayat yang secara implisit seperti Kej. 1:26, maupun yang secara eksplisit di dalam Mat.3:16,17.
Kasih sebenarnya sudah mempresaposisikan Allah yang bersifat Tritunggal. Di dalam Alkitab dikatakan bahwa Allah adalah kasih, I Yoh. 4:8. Kasih hanya sempurna jika diwujudkan oleh minimal dua pribadi yang berbeda. Satu pribadi menjadi subyek yang mengasihi dan pribadi yang lainnya menjadi obyek yang dikasihi, demikian sebaliknya. Ketika Allah belum menciptakan alam semesta dan makhluk moralnya yaitu manusia dan malaikat, bagaimana Dia mewujudkan kasih-Nya jika Allah itu hanya satu pribadi? Alkitab berkata bahwa di dalam Diri Allah ada tiga pribadi berbeda yang saling menjadi subyek dan obyek kasih. Jadi, sebelum menciptakan manusia dan malaikat, kasih berada secara sempurna di dalam diri Allah yang bersifat Tritunggal.

Tritunggal dalam PL
Di dalam PL kita memang tidak mendapatkan konsep tentang Allah Tritunggal secara utuh. Tetapi PL sendiri menyaksikan bahwa Allah yang satu itu memiliki pribadi yang jamak. Tidak usah diragukan lagi, bahwa banyaknya ayat-ayat di dalam Perjanjian Lama yang menyatakan kepada kita mengenai Allah yang satu tetapi memiliki pribadi yang jamak atau disebut lebih dari satu pribadi, membuktikan kejamakan pribadi Allah. Ayat-ayat itu misalnya terdapat dalam: Kej. 1:26; 11:7; Kej.19:24; Mal. 3:1; Maz. 45:6,7 (Ibr. 1:8,9); Yes. 48:16; 61:1; 63:9,10.

Tritunggal dalam PB
Di dalam Perjanjian Baru, ajaran mengenai Tritunggal menjadi sangat jelas seperti yang tercatat di dalam Matius 3:16,17. Ini merupakan ayat yang paling jelas mengenai Tritunggal, di mana ketiga Pribadi tampil secara bersamaan. Anak dibaptis oleh Yohanes Pembaptis, Roh Kudus turun dalam rupa merpati, serta Bapa berkata dari sorga, “Inilah Anak-Ku yang kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.”
Formula baptisan air seperti yang diajarkan Tuhan Yesus dalam Matius 28:19, juga menunjukkan ke-Tritunggalan Allah. Di dalam Alkitab versi New King James dikatakan, “Go Therefore and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy spirit,…”. Formula ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa Allah memiliki tiga pribadi yang berbeda. Artikel ‘the’ sangat menjelaskan tentang hal ini. Bukti lain tentang ketritunggalan Allah di dalam PB ialah, Bapa mengirim Putra, Yoh.3:16; Gal. 4:4; Ibr. 1:6; I Yoh. 4:9. Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus, Yoh. 14:26; 15:26; 16:7; Gal. 4:6. Anak bersekutu dengan Bapa, Mat. 11:25,26; 26:39; Yoh. 11:41; 12:27,28. Roh Kudus berdoa kepada Allah di dalam hati orang percaya, Rm. 8:26.

Satu esensi dan tiga pribadi
Pernyataan yang standar tentang Allah Tritunggal adalah bahwa kita percaya pada satu Allah yang memiliki satu esensi (hakekat) tetapi di dalam-Nya ada tiga pribadi yang berbeda. Masing-masing pribadi tersebut eksis secara bersama-sama dalam satu esensi yang identik secara kekal.
Mari kita melihat apa yang dimaksud dengan esensi dan pribadi. Esensi adalah natur atau keseluruhan hal yang bersifat substansial atau mendasar, yang menjadikan sesuatu yang bereksistensi itu terlihat apa adanya. Esensi, hakekat atau substansi adalah sifat-sifat dasar yang mutlak ada pada sesuatu obyek. Atau dengan perkataan lain, sesuatu yang mutlak ada pada obyek tertentu yang menjadikan obyek tersebut sebagaimana adanya, itulah hakekat. Agar lebih jelas, saya akan menjelaskan hal ini dengan meminjam penjelasan Ronald Nash mengenai dua jenis properti yaitu properti esensial dan properti non esensial:

...Sebagai contoh, bayangkanlah sebuah bola merah. Warna obyek ini adalah non esensial, dalam arti jika kita mengubah warnanya menjadi kuning atau hijau, obyek itu masih merupakan sebuah bola. Tapi ketika kita membicarakan sebuah bola, properti bulat merupakan properti esensial. Kita tidak dapat memiliki bola yang tidak bulat. Jika kamu mengubah ciri obyek ini, maka ia bukan lagi sebuah bola.
Dengan istilah yang paling sederhana, properti esensial adalah properti yang tidak dapat diubah atau hilang tanpa meniadakan obyek yang bersangkutan dari jenisnya sekarang.2

Mengacu kepada penjelasan ini, maka yang menjadi esensi dari sebuah bola adalah bentuknya yang bulat, sedangkan warnanya tidak esensial bagi bola tersebut, karena jika kita mengubah warnanya, dia tetaplah bola asalkan properti bulat tetap ada padanya. Jadi esensi adalah sifat dasar yang mutlak harus ada yang menjadikan sesuatu obyek terlihat sebagaimana dia ada.
Sekarang mari kita melihat apa yang dimaksud dengan pribadi. Pribadi adalah sesuatu keberadaan yang memiliki pikiran, perasaan dan kehendak, yang menjadikan dia bertanggung jawab secara moral atas diri dan tindakannya. Sebuah pribadi juga memiliki kesadaran (consciousness) dan kesadaran akan diri (self consciousness). Kesadaran suatu pribadi adalah kesadaran diri sebagai subyek dalam kaitan dengan obyek di luar diri. Jadi, diri yang sadar bahwa diri berbeda dari hal-hal yang di luar dirinya, itulah yang disebut sebagai kesadaran. Kesadaran akan diri adalah kesadaran diri sebagai subyek dalam kaitan dengan diri sendiri sebagai obyek. Diri melihat diri, menilai diri, berbicara kepada diri dan sebagainya. Jadi diri adalah subyek sekaligus obyek.
Selanjutnya, bagaimanakah hubungan antara esensi dan pribadi Allah Tritunggal? Shedd berkata bahwa hubungan antara kesatuan esensi dan ketigaan Pribadi Allah adalah sama seperti hubungan antara esensi dan atribut-Nya.3 Ketika dikatakan bahwa ada tiga pribadi di dalam satu esensi, tidak berarti bahwa esensi tersebut adalah hal yang keempat di mana ketiga pribadi berada. Hal ini dihindari dengan pernyataan antitesis bahwa satu esensi tersebut ada secara keseluruhan di dalam masing-masing ketiga pribadi.4

Kesatuan, keragaman & persekutuan dalam Tritunggal
Sekarang saya akan memberikan penjelasan dari wahyu umum (secara filosofis) yang justru meneguhkan kebenaran Allah Tritunggal.
Dalam Diri Allah Tritunggal, prinsip kesatuan dan keragaman (yang mati-matian diselidiki para filsuf) dan persekutuan (yang diusahakan orang Kristen) mendapatkan jawaban yang tuntas. Kesatuan dan keragaman dalam Tritunggal pertama-tama menyangkut kesatuan natur dan keragaman sifat-Nya. Kedua, dalam kesatuan natur dan keragaman pribadi-Nya. Pembahasan ini hanya berkaitan dengan kesatuan natur dan keragaman Pribadi-Nya.
Sebelum kita melihat kesatuan dan keragaman dalam Tritunggal secara khusus, kita terlebih dahulu melihat bahwa prinsip kesatuan dan keragaman merupakan prinsip yang mutlak ada pada Allah maupun ciptaan. Jika kita menekankan kesatuan atau yang ”satu” saja maka itu bukanlah apa-apa. Itu adalah nihil. Sebaliknya, jika kita hanya menekankan keragaman saja, maka itu hanyalah kekacauan atau bahkan nihil.
Saya akan mengemukakan satu contoh untuk hal ini agar menjadi lebih jelas. Sebuah buku memiliki kesatuan dan keragaman di dalam dirinya. Kesatuannya adalah bahwa buku itu adalah satu buku, sedangkan keragamannya adalah bahwa buku itu memiliki kulit, isi, lem dan benang perekatnya, serta tulisan-tulisan di dalamnya. Sekarang mari kita abaikan keragamannya dan hanya menekankan kesatuannya. Yang menjadi keragamannya adalah apa? Kulitnya. Lepaskan dan buanglah kulitnya. Apa lagi? Isinya. Lepaskan dan buanglah isinya. Apa lagi? Lem dan benang perekatnya. Lepaskan dan buanglah itu. Lepaskan dan buang semua yang ada padanya yang merupakan keragamannya. Apakah yang tersisa? Bukankah pada akhirnya kosong? Menekankan kesatuannya saja berarti kosong. Contoh lain untuk hal ini adalah, bayangkanlah bahwa seluruh dunia adalah berwarna putih. Tidak ada warna yang lain kecuali putih. Alam semesta ini berwarna putih dan segala isinya juga putih termasuk manusia dan seluruh tubuh manusia. Apa yang terjadi? Bukankan itu nihil dan tidak berarti apa-apa? Inilah hasilnya jika kita hanya menekankan kesatuan dan membuang keragaman.
Sebaliknya, sekarang mari kita abaikan kesatuan dan kita hanya menekankan keragaman. Kembali kepada contoh buku di atas. Pisahkan kulit dari isinya dan setiap apa yang menjadi keragamannya karena semua itu tidak boleh jadi satu. Bukankah kita sedang membuang kesatuannya? Pisahkan semuanya. Apa yang tersisa? Onggokan kertas, lem, benang dan sebagainya yang berserakan di lantai. Tetapi, kita masih bisa melihat onggokan yang berserakan itu, karena onggokan itu masih memanfaatkan kesatuan. Apa yang menyatukan onggokan berserakan itu? Jawabnya tentu lantai. Sekarang mari kita buang lantainya (jika bisa), dan di manakah sekarang onggokan kertas, lem dan benang itu? Katakanlah, onggokan itu melayang-layang di udara. Tetapi onggokan itu masih melayang-layang, oleh karena ada udara yang menjadi pemersatunya sehingga onggokan itu masih kelihatan melayang-layang. Di sini kesatuan belum sama sekali dihilangkan. Sekarang katakanlah bahwa tidak ada udara dan tidak ada hal lain apa pun lagi yang menjadi wadah yang menyatukan onggokan tadi. Apakah yang tersisa? Bukankah pada akhirnya juga nihil?
Jadi, dari contoh ini kita sekarang tahu bahwa kesatuan dan keragaman yang eksis secara bersama-sama adalah mutlak bagi sebuah substansi yang bereksistensi. Tanpa unsur kesatuan dan keragaman maka semuanya kosong atau nihil.
Menarik sekali bahwa filsuf mula-mula Yunani mencari hakekat atau substansi dari alam semesta ini. Thales berkata bahwa unsur utama adalah air. Dalam hal ini Thales mencari kesatuan dari keragaman yang dilihatnya di dalam alam. Heraklitus berkata bahwa segala sesuatu berubah kecuali perubahan itu sendiri. Dia menekankan keragaman. Sedangkan Parmenidas berkata bahwa apa pun yang ada itu pasti ada, dengan demikian dia menyangkal perubahan. Dia menekankan kesatuan. Filsafat Modern mencari kesatuan atau makna tunggal dari keragaman, sedangkan filsafat Postmodern menekankan keragaman di atas kesatuan. Di dalam Allah Tritunggal, kesatuan dan keragaman yang digumulkan filsafat mendapatkan jawabannya secara tuntas.
Prinsip penting mengenai kesatuan dan keragaman dalam diri Allah, tercermin dalam segala hal di alam semesta ini. Sebuah pohon misalnya memiliki akar, batang, cabang, carang dan daun serta buah. Tetapi walaupun terdiri dari kepelbagaian, di dalamnya ada satu kesatuan yang utuh. Sebuah rumah, sebuah lembaga, sistim tata surya kita atau apa saja yang ada dalam dunia ini, bahkan apa yang dicari oleh para filsuf dalam filsafat pasti mencerminkan prinsip kesatuan dan keragaman.
Relasi antara kesatuan dan keragaman dalam alam semesta ini bisa bersifat organik atau memiliki relasi yang hidup, bisa juga berupa relasi struktural atau bersifat mekanis. Tetapi faktanya adalah bahwa semua mencerminkan prinsip kesatuan dan keragaman. Dan fakta ini bagi saya, meneguhkan keyakinan saya akan doktrin Tritunggal, bahwa Allah sungguh-sungguh adalah Tritunggal karena ke-Tritunggalan-Nya direfleksikan oleh seluruh bagian dari alam semesta ini.

Catatan:
Mengatakan bahwa kesatuan dan keragaman Allah direfleksikan oleh seluruh alam semesta ini tidak sama dengan mengatakan bahwa kesatuan dan keragaman dari Tritunggal sama dengan apa yang ada dalam alam semesta. Perbedaan hal ini jelas. Di dalam Tritunggal, jika kita mengacu kepada salah satu saja keragaman-Nya, misalnya jika kita mengacu kepada Bapa saja, maka Bapa saja adalah keseluruhan Allah sepenuhnya. Begitu juga jika kita hanya mengacu kepada Anak, atau Roh Kudus saja. Tidak demikian dengan kesatuan dan keragaman alam semesta ini. Salah satu keragaman atau bagiannya, tidaklah mewakili seluruhnya. Misalnya, akar sebuah pohon bukanlah pohon itu secara keseluruhan. Yang saya ingin tekankan di sini hanyalah prinsip kesatuan dan keragaman (unity and diversity) yang terdapat di seluruh alam semesta ini, yang merefleksikan kesatuan dan keragaman dalam diri Allah Tritunggal.

Dari keragaman pribadi Tritunggal yang berada dalam satu kesatuan inilah terdapat satu persekutuan yang hidup, di mana masing-masing Pribadi saling bersekutu, saling berkomunikasi dan saling mengasihi satu dengan yang lainnya.
Keragaman Pribadi Tritunggal hanya tiga, tidak lebih dan tidak kurang. Hal ini disebabkan oleh karena sebuah persekutuan mutlak hanya memunculkan tiga pihak. Persekutuan kasih misalnya, bisa saja diwujudkan oleh hanya dua pihak, misalnya saya mengasihi isteri saya atau sebaliknya isteri saya mengasihi saya. Saya menjadi subyek dan isteri saya menjadi obyek atau sebaliknya. Tetapi relasi kasih yang hanya terdiri dari dua pihak ini belum sempurna, karena membutuhkan pihak ketiga yang mengamati, menyaksikan dan turut bersukacita atas hubungan kami. Pihak ketiga tersebut bisa teman-teman, keluarga, rekan pelayan dan sebagainya. Siapapun yang bukan saya dan bukan isteri saya, mereka semuanya digolongkan sebagai pihak ketiga. Di sini kita melihat dengan jelas bahwa persekutuan itu bersifat ketigaan (trinal).
Itu sebabnya angka tiga merupakan angka persekuatuan (fellowship) dan inilah yang menjadi alasan mengapa keragaman Pribadi Tritunggal hanya tiga, tidak kurang dan tidak lebih.

Ordo dan otoritas dalam Tritunggal
Suatu kali saya pernah berdiskusi dengan seorang pendeta yang mengatakan bahwa ordo dalam Tritunggal bersifat horisontal dan vertikal. Secara horisontal berarti bahwa ketiga pribadi setara dalam kuasa dan kemuliaan, sedangkan jika kita berbicara ordo dalam pengertian vertikal berarti bahwa Bapa lebih berotoritas dari Anak dan Roh Kudus, dan Anak lebih berotoritas dari Roh Kudus. Saya langsung menyatakan ketidaksetujuan saya atas konsep tersebut dengan alasan bahwa jika kita membicarakan kesetaraan ketiga oknum Tritunggal dalam hal kuasa dan kemuliaan maka tentu kita tidak mungkin berbicara mengenai siapa yang lebih berotoritas di antara ketiga-Nya. Istilah kuasa (power) mengindikasikan adanya otoritas. Jika demikian mengatakan bahwa Bapa lebih berotoritas dari kedua oknum Tritunggal yang lainnya, sama dengan mengatakan bahwa Bapa memiliki kuasa yang lebih besar. Karena itu, ketika kita menerima kesetaraan pribadi-pribadi Tritunggal dalam hal kuasa dan kemuliaan, maka membicarakan perihal otoritas Bapa yang lebih besar merupakan sebuah kontradiksi.
Seluruh teolog Reformed dan banyak teolog bukan Reformed menerima bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus setara dalam kuasa dan kemuliaan (equal in power and glory). Ketika membahas Tritunggal (30 halaman) dalam Institutes of the Christian Religion, buku I, John Calvin tidak menyinggung sedikit pun perihal otoritas Bapa yang lebih besar dari kedua Pribadi Tritunggal yang lain.5
Ketika kita mengatakan bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus sehakekat, itu berarti bahwa masing-masing pribadi memiliki seluruh esensi keilahian secara utuh tanpa terbagi. Jika demikian, nampaknya membicarakan Bapa lebih berotoritas dari Anak dan Roh Kudus merupakan pengurangan atas kemuliaan substansi ilahi Anak maupun Roh Kudus. Tetapi membicarakan pengurangan substansi Anak dan Roh Kudus jelas tidak mungkin tanpa sekaligus mengurangi substansi ilahi Allah Bapa, karena ketiga pribadi tersebut hanya memiliki satu substansi yang sama, identik dan tidak terbagi.
Memang kita bisa membicarakan subordinasi dalam Tritunggal, tetapi hanya pada saat kita membicarakan ordo atau urut-urutan secara logis dan bersifat horisontal. Louis Berkhof mengatakan, ”There is a certain order in the ontological Trinity. In personal subsistence the Father is first, the Son second, and the Holy Spirit third. It need be hardly said that this order does not pertain to any priority of time or of essential dignity, but only to the logical order of derivation.”6
Jika demikian timbul pertanyaan, mengapa Anak taat kepada Bapa dan Roh Kudus taat kepada Bapa dan Anak? Bukankah hal ini mengasumsikan adanya tingkatan otoritas dalam Tritunggal? Mari kita melihat apa yang dimaksud dengan otoritas. Otoritas secara sederhana bersangkut paut dengan kuasa atau wewenang seseorang atas orang lain atau sebuah obyek tertentu. Siapa yang memiliki otoritas tentu lebih besar kuasanya dari orang-orang yang berada di bawah otoritasnya. Berkaitan dengan Tritunggal, konsekwensi logis dari definisi tersebut adalah bahwa yang memiliki otoritas adalah pihak yang harus ditaati sedangkan yang lebih inferior adalah yang harus taat. Demikianlah maka Anak harus taat kepada Bapa karena Bapa memiliki otoritas lebih besar.
Tetapi pengertian teologi Reformed terhadap ketaatan Anak kepada Bapa tidak demikian. Teologi Reformed berkata bahwa Anak taat dan tunduk secara sukarela kepada Bapa karena di dalam kekekalan natur Anak memang demikian adanya. Sama halnya dengan Roh Kudus yang oleh natur-Nya secara sukarela tunduk kepada Bapa dan Anak. Benar, bahwa Anak dan Roh Kudus tunduk secara sukarela karena naturnya memang demikian. Tetapi mengatakan bahwa Anak dan Roh Kudus tunduk kepada Bapa karena Bapa lebih berotoritas adalah hal lain yang menyimpangkan kita kepada ajaran subordinasi yang salah. Di sini muncul pertanyaan yang sangat penting, bisakah ketundukan tersebut terjadi tanpa otoritas? Berdasarkan argumen-argumen saya di bawah ini, hal itu bisa saja terjadi, karena:
1.Jika kita menerima bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah sehakekat maka secara alamiah ketiga pribadi Tritunggal melakukan fungsinya masing-masing tanpa perlu diatur oleh otoritas. Dalam ordonya secara logis, Bapa menjadi inisiator secara sukarela, Anak tunduk kepada inisiatif Bapa secara sukarela dan secara otomatis Roh Kudus tunduk secara sukarela kepada Bapa dan Anak. Allah tidak membutuhkan otoritas untuk menata diri-Nya agar tertib dan teratur karena hakekat keilahian-Nya memang sudah tertib dan teratur. Hanya manusia yang bersifat (meminjam istilah Stephen Tong) created, limited and polluted yang memerlukan secara urgen sebuah otoritas yang mengatur atau menatanya. Demikian juga dengan dunia malaikat dan seluruh alam semesta ini.
2.Jika Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah kebenaran, maka tidak mungkin ada kesalahan baik secara metafisik, secara moral dan secara logika dalam diri Tritunggal. Lagi pula di dalam-Nya tidak ada kekurangan, keterbatasan, kelemahan dan cacat yang memungkinkan munculnya sebuah pemberontakan (makar) dari Pribadi tertentu yang menyebabkan terjadinya disorder dalam diri Tritunggal. Jika demikian maka Tritunggal tidak memerlukan otoritas untuk menata diri-Nya. Otoritas Allah Tritunggal hanya ditujukan untuk menata seluruh alam semesta ini dan segala makhluk ciptaan-Nya.
3.Bukankah dalam Yoh. 14:28 Kristus mengatakan bahwa Bapa lebih besar dari diri-Nya? Bavinck memberi penjelasan mengenai hal ini demikian, ”Accordingly, when in John 14:28 Jesus says that his going to the Father is for the disciples an occasion for rejoising, ”for the Father is greater than I,” he does not mean that the father is greater in power – for John 10:28-30 teaches differently – but he refers to himself in his humiliation. The Father in his glory is greater than the Son in his humiliation. But When Jesus Goes to the Father, this inferiority will end.”7 Argumen Bavinck sangat jelas. Kristus mengatakan Bapa lebih besar berkenaan dengan perendahan diri-Nya pada saat inkarnasi.
4.Ada satu hal yang sangat indah yang muncul dari ordo Tritunggal jika kita renungkan. Ketundukan dua Pribadi yang lain terhadap Allah Bapa mencerminkan karakter yang sangat mulia dan agung (super gentle) bukan saja dari kedua Pribadi yang tunduk tetapi juga dari Allah Bapa. Allah Bapa di dalam kekekalan, tanpa waktu, tanpa proses, memperanakkan Anak dan mengkomunikasikan substansi keilahian-Nya secara penuh termasuk kuasa dan otoritas-Nya kepada Anak. Nyata di sini keagungan tanpa tanding dari Pribadi Bapa yang ”memberikan” segala hal yang dimiliki-Nya pada Anak tanpa takut, cemburu dan gentar sedikit pun. Di sini kita juga melihat kerendahan hati Bapa yang sedemikian dalam dan tak terkira. Anak diperanakkan oleh Bapa dan dikomunikasikan kepada-Nya seluruh kualitas keilahian termasuk kuasa dan otoritas Bapa secara kekal, tetapi Anak tidak mengambil semua itu untuk diri-Nya dan semuanya dikembalikan untuk kemuliaan Allah Bapa. Di sini kita melihat keagungan dan kerendahan hati dari Anak yang tak terukur. Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak dan dikomunikasikan kepada-Nya seluruh kualitas keilahian termasuk kuasa dan otoritas yang setara dengan Bapa dan Anak secara kekal, namun Ia tak pernah bekerja untuk diri-Nya, melainkan seluruh-Nya diberikan agar Anak ditinggikan dan Bapa boleh dipermuliakan. Di sini juga kita melihat keagungan dan kerendahan hati Roh Kudus yang tidak tertandingi. Di dalam hubungan yang sangat mulia dan agung ini, kita tidak bisa membicarakan mana oknum yang lebih berotoritas dan mana yang inferior. Ketiga Pribadi Tritunggal setara dalam kuasa (otoritas) dan kemuliaan.
Dengan pengertian ini kita terhindar dari ajaran subordinasi yang menyimpang. Saya percaya bahwa ketiga Pribadi Tritunggal yang berada dalam satu hakekat, masing-masing secara alamiah menata diri-Nya tanpa harus menggunakan otoritas. Bapa sebagai sumber segala sesuatu adalah selalu yang pertama, kemudian Anak di mana segala sesuatu adalah melalui-Nya, selalu menjadi yang kedua dan Roh Kudus, di mana segala sesuatu berada dalam Dia, selalu menjadi yang ketiga. Hubungan yang indah, tertib, harmonis dan teratur ini terjadi begitu saja dalam kekekalan karena (meminjam istilah orang Jawa), dari ”sononya” Tritunggal memang demikian.

Tritunggal Tidak Bisa Dijelaskan Dengan Ilustrasi
Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Allah Tritunggal tidak bisa diilustrasikan dengan apapun. Ada banyak pihak yang berusaha untuk memberikan ilustrasi, tetapi semua ilustrasi itu mengandung kelemahan yang tidak sedikit. Beberapa di antaranya kita akan bahas:
1.Ilustrasi satu Allah dengan tiga fungsi. Ilustrasi ini biasa dijelaskan demikian, seorang laki-laki kalau ia berada di rumah menjadi bapak bagi anak-anaknya, kalau ia sedang menyetir mobil dijalan ia menjadi sopir dan sesampai dikantor ia menjadi direktur. Jadi laki-laki yang satu ini tadi, adalah bapak sekaligus sopir dan direktur. Ilustrasi ini sangat menyesatkan dan merupakan penjelasan dari ajaran Sabelianisme. Sabelius mengatakan bahwa Allah di dalam PL adalah Bapa, kemudian berinkarnasi menjadi Anak dalam PB, lalu naik ke Sorga dan kembali lagi menjadi Roh Kudus. Jadi, ada satu Allah dengan tiga fungsi. Ajaran ini sama sekali menyimpang dari ajaran Alkitab yang dengan jelas mengajarkan bahwa Allah adalah satu esensi dan tiga pribadi yang berbeda-beda.
2.Ilustrasi air, es dan uap. Air, es dan uap memiliki materi yang sama tetapi bisa tampil di dalam tiga wujud. Air bisa membeku menjadi es atau menguap menjadi uap. Es bisa menyublim menjadi uap atau mencair menjadi air. Uap bisa mengembun menjadi air. Kelemahan ilustrasi ini sama saja dengan yang di atas. Di dalam Tritunggal, Bapa tidak bisa berubah wujud menjadi Anak atau Roh Kudus, demikian sebaliknya. Bapa adalah tetap Bapa, demikian juga dengan Anak dan Roh Kudus.
3.Ilustrasi matahari. Matahari terdiri dari tiga bagian yaitu bulatan matahari itu sendiri, sinarnya dan panasnya. Tetapi kelemahan ilustrasi ini sudah jelas yaitu bahwa bulatan matahari itu sendiri tanpa sinar dan panasnya, bukanlah matahari. Begitu juga, jikalau hanya sinar atau panasnya saja, bukanlah matahari. Sedangkan di dalam konsep Allah Tritunggal, Bapa saja adalah Allah sepenuhnya, begitu juga dengan Anak dan Roh Kudus.
4.Ilustrasi segitiga, sama lemahnya dengan ilustrasi matahari, karena salah satu sudut segitiga saja bukanlah segitiga itu sendiri.