Sabtu, 29 Agustus 2009

GKKR MOVEMENT: Benarkah Yesus Allah?

GKKR MOVEMENT: Benarkah Yesus Allah?

Prolegomena: Teologi Bagi Kehidupan

Antonius Steven Un

Belajar dan mengerjakan teologia bukanlah suatu perkara yang remeh. Hal ini dikarenakan belajar dan mengerjakan teologia sekaligus merupakan suatu respons terhadap wahyu Tuhan, suatu pergumulan hidup dan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan. Itu sebabnya kita perlu bersungguh-sungguh memikiran dan mempersiapkan proses belajar dan mengerjakan teologia. Dalam rangka tujuan ini, maka prolegomena diadakan. Prolegomena merupakan pengantar sebelum studi teologia. Prolegomena diadakan dengan maksud supaya kita mempersiapkan diri dengan sikap hati dan sikap pikiran yang tepat untuk mengerjakan teologia. Kiranya melalui prolegomena nantinya, kita semakin baik dan maju serta bertumbuh dalam belajar dan mengerjakan teologia.

Natur Teologia
Perlu diketahui bahwa istilah 'teologia' tidaklah mudah untuk didefinisikan. Hal ini disebabkan karena pengguanaannya yang demikian luas. Misalnya saja, Plato, filsuf Yunani Kuno, menyebut karya tulis tentang para dewa dari pujangga-pujangga waktu itu sebagai 'teologia.' Bukan saja demikian, Millard J. Erickson bahkan menyimpulkan bahwa teologia merupakan kegiatan tingkat kedua - jika dibandingkan dengan agama - karena teologia menangani urusan dogma dan keyakinan dalam agama-agama. Namun demikian, adalah tugas kita untuk mendefinisikan teologia sebab definisi ini menunjukkan pengertian kita akan hakekat dan sekaligus menentukan signifikansi, sumber dan metode teologia. Tanpa pengertian akan natur teologia tidak mungkin kita akan berteologia, sebab kita tidak tahu apa yang kita kerjakan. Itu sebabnya, kita akan mencoba menelusuri pergumulan mengerti natur teologia secara historis lalu kemudian menentukan sikap secara jujur dan adil mengenai natur teologia.
Sebagaimana yang sudah dikemukakan di depan, mendefinisikan teologia bukanlah suatu usaha yang mudah. Dalam sejarah teologia, beberapa teolog dan pemikir Kristen pernah memberikan definisi-definisi teologia menurut pengertian dan konteks latar belakang mereka. Charles Hodge (1797-1878), teolog Reformed dari Old Princeton dalam menjawab pertanyaan: apakah teologia itu, mengemukakan kalimat: "jika ilmu natural (natural science) berkonsentrasi dengan fakta dan hukum alam maka teologia berkonsentrasi dengan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab." Pekerjaan teologia tidak berhenti pada penemuan fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab tetapi sebagaimana dalam natural science, menurut Hodge, teologia juga mengurusi sistimatisasi dari fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab. Itu sebabnya, Hodge menyimpulkan: "Teologia... mengetengahkan fakta-fakta Alkitab dalam urutan dan hubungan yang tepat dengan prinsip-prinsip atau kebenaran-kebenaran umum yang ada dalam fakta-fakta itu sendiri dan yang meliputi dan menyelaraskan seutuhnya
Millard J. Ericson berawal dari prinsip yang sama dengan Hodge - teologia harus bersifat Alkitabiah - Ericson memberikan definisi yang lengkap mengenai teologia yaitu "bidang study yang berusaha untuk menyampaikan suatu pernyataan yang berhubungan secara logis tentang doktrin-doktrin iman Kristen yang terutama berdasarkan Alkitab, ditempatkan dalam konteks kebudayaan pada umumnya, dikalimatkan dalam bahasa-bahasa masa kini dan berhubungan dengan masalah-masalah kehidupan."
Kedua penjelasan di atas memberikan sifat sistematis dan proposisi dari teologia. Tidak demikian dengan Stenley Grenz. Ia mengatakan "Secara mendasar, teologia sistematika adalah sebuah refleksi dan artikulasi teratur atas iman." Ini berarti setiap orang yang beriman pasti berteologia. " karena kita adalah orang beriman maka kita berurusan dengan teologia." Grenz kemudian melanjutkan kesimpulannya tentang teologia bahwa "teologia adalah sebuah pekerjaan komunitas orang beriman; teologia adalah tindakan komunitas. Teologi adalah refleksi dan artikulasi komunitas Kristen atas iman dari orang-orang yang telah berkontak (Grenz menggunakan istilah "encountered with God") dengan Allah dalam aktifitas Allah yang berfokus kepada sejarah Yesus dari Nasaret dan dari mereka yang berusaha untuk hidup sebagai umat Allah dalam zaman kontemporer" (penekanan ditambahkan oleh penulis untuk memudahkan pembacaan).
Grenz dapat tiba kepada kesimpulan demikian oleh karena ia melihat adanya kelemahan dalam teologia yang bersistem dan bersifat proposisi. Teologi sistimatika menurut Grenz, sebagai produk dari teolog Skolastik dan Princeton tahun 1800-an, sudah berfokus kepada pengorganisasian fakta-fakta Alkitab sebagaimana natural sciences mengsistimatisasikan fakta-fakta alam semesta. Fokus ini membawa teolog-teolog mengerti kebenaran sebagai proposisi yang terdiri dari kalimat-kalimat penegasan dan bersifat tidak berubah. Konsekwensinya, "proposisionalis berusaha mengangkat teologia dari satu konteks kebudayaan untuk menghasilkan pernyataan-pernyataan kebenaran yang bersifat melampaui waktu dan kebudayaan." Menurut Grenz, model pendekatan yang ia sebut "concordance" ini telah pernah mengalami beberapa kali tantangan. Misalnya, Neo-Orthodoks yang menekankan wahyu bukan dalam sistim teologia melainkan dalam encounter dengan Allah. Dari konsep "encounter" ini kemudian Grenz melihat teologia sebagai refleksi. Menurut Grenz, "refleksi teologis selalu terjadi dalam dan untuk sebuah konteks sejarah spesifik." Ini berarti, concordance approach dalam teologi yang bersifat melampaui waktu dan kebudayaan telah "memperkosa" refleksi teologis dari waktu dan kebudayaan tertentu. Inilah kelemahan teologia yang bersifat proposisi.
Grenz juga mengakomodir fokus teologia kontemporer kepada komunitas. Sebagaimana dikemukakan di atas, bertolak dari konsep "encounter" dalam Neo-Orthodoks, Grenz melihat bahwa refleksi teologis yang bersifat spesifik berkonsekuensi bahwa teologia harus berfokus kepada komunitas. Grenz mengatakan "sebagai orang-orang Kristen, kami menegaskan bahwa pengalaman agama - sebuah encounter dengan ilahi - adalah berdasarkan identitas pribadi kita. Menurut tradisi Alkitab, tujuan dari encounter manusia - Allah, adalah untuk menetapkan komunitas orang-orang yang berada dalam perjanjian dengan Allah." Kepentingan komunitas Kristen ini menurut Grenz, penting bagi kita untuk mengerti natur teologia. Itu sebabnya mengapa ia mendefinisikan teologia sebagai refleksi iman komunitas Kristen. (Pandangan Grenz ini sangat dipengaruhi Postmodernisme-red)
Douglas Groothuis menulis satu buku untuk membela kekristenan terhadap tantangan Postmodernisme yang berjudul "Pudarnya Kebenaran" (Truth Decay). Dalam pasal yang menjawab tantangan Postmodernisme atas teologia, Groothuis memberikan sejumlah penjelasan tentang teologia. Menurut dia, teologia bertugas untuk "mengidentifikasi dan merumuskan secara logis, koheren dan meyakinkan kebenaran yang diwahyukan Allah." Definisi ini menjadikan teologia bersifat untuk semua orang, bukan hanya untuk para teolog melainkan "...menyangkut semua orang Kristen yang ingin memahami dan menerapkan kebenaran Allah bagi kehidupan dan menjadikannya diketahui orang lain... akibatnya, teologia mempengaruhi segala hal yang kita lakukan tidak peduli apakah kita memikirannya secara sistimatis atau tidak." Namun teologia yang dimaksud oleh Groothuis adalah yang bersifat proposisional. Menurut dia, "pembelaan bagi wahyu proposisional merupakan ajaran sentral kaum Injili... Bab 3 (buku "Pudarnya Kebenaran") membela pandangan proposisional kebenaran dan mendemonstrasikannya bahwa Alkitab menyatakan kebenaran Allah sebagai kebenaran yang diwahyukan, obyektif, mutlak, universal, berlaku kekal, antitesis, sistematis dan sebagai tujuan di dalam dirinya sendiri."
Berbagai sisi dari teologia harus dipandang dengan jujur menurut apa yang Alkitab katakan. Pertama, kita harus membedakan antara Alkitab sebagai Firman Allah dan teologia. Alkitab sebagai Firman/ wahyu Allah tidak bersalah, tepat setiap kata-katanya pada naskah asli. Sementara teologia adalah pergumulan manusia untuk mengerti dan menerapkan wahyu Allah. Teologia membaca dan menyusun fakta-fakta menurut urutan yang diberikan Alkitab. Teologia juga menggunakan rasio yang diciptakan oleh Tuhan dalam proses ini. Kedua, kita harus membedaan antara kebenaran yang hanya satu (segala kebenaran adalah kebenaran Allah - Truth) dan pengalaman kita akan kebenaran. Kebenaran tidak berubah, bersifat melampaui ruang dan waktu, konsisten dan koheren. Sementara pengalaman kita akan kebenaran berdasarkan konteks kita masing-masing. Teologia dalam hal ini mengerjakan penerjemahan kebenaran yang satu (Truth) itu ke dalam konteks yang beragam. Itu sebabnya teologia tidak boleh mengabaikan fakta kondisi dan waktu kultural. Paulus mengatakan "Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi...bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka" (1 Kor. 9:19-23). Paulus memang sedang membicarakan penginjilan tetapi kita tahu bahwa ketika kebenaran itu akan disampaikan ke dalam konteks yang berbeda, teologia yang bertugas menyampaikan kebenaran harus menyesuaikan diri menurut konteksnya masing-masing.
Ketiga, kita harus membedakan antara wahyu yang proposisional dan beragam tipe sastra yang digunakan untuk menyampaikan kebenaran wahyu Allah. Dalam Alkitab terdapat berbagai macam tipe sastra: narasi, puisi, proposisi, apokalipsi dan lainnya. Dalam setiap tipe sastra terdapat kebenaran proposisional yang akan disampaikan oleh Allah. Hal inilah yang dikenal dengan wahyu proposisional. Teologia tidak boleh mengabaikan sifat sastra dari setiap tipe sastra dalam Alkitab karena tipe itulah yang dipilih Allah dalam konteksnya) untuk menyampaikan wahyu.
Dapat disimpulkan dari pembahasan di atas beberapa sifat dan tugas teologia:
Sifat Teologia:
1. Teologia harus bersifat Alkitabiah.
2. Teologia bersifat sistimatis.
3. Teologia bersifat refleksi atas iman kepercayaan Kristiani.
4. Teologia bersifat kontekstual (menerjemahkan kebenaran ke dalam konteks).
5. Teologia memberikan tantangan kepada kebudayaan untuk kembali kepada kemuliaan Tuhan.
6. Teologia memberikan jawaban di tengah berbagai alternatif.
Tugas Teologia:
1. Teologia membaca fakta-fakta dan prinsip-prinsip kebenaran dalam Alkitab dengan benar (tugas penafsiran).
2. Teologia menyusun fakta-fakta dan prinsip-prinsip ke dalam kerangka yang sesuai Alkitab (tugas sistimatika).
3. Teologia menilai tradisi di bawah terang Alkitab (tugas historika).
4. Teologia menggiring kebudayaan kepada kemuliaan Tuhan (tugas filosofis).
5. Teologia memimpin orang percaya untuk mengasihi Tuhan dan sesama (tugas spiritual).

Jenis-Jenis Teologia
Melihat natur dan tugas teologia yang sedemikian luas, kita mencoba memetakan jenis-jenis teologia berdasarkan cakupan, sebagaimana yang sudah dikenal luas. Berdasarkan cakupan, teologia terdiri dari empat bagian yaitu teologia sistimatika; teologia biblika, teologia historika, teologia filosofika.
Teologia sistimatika adalah studi tentang doktrin yang datanya diambil dari Alkitab, yang dikumpulkan atau diorganisasikan menurut tema-tema tertentu. Teologia sistimatika terdiri dari Doktrin Alkitab, Doktrin Allah, Doktrin Manusia dan Dosa, Doktrin Kristus, Doktrin Roh Kudus, Doktrin Keselamatan, Doktrin Gereja, Doktrin Akhir Zaman.
Teologia Biblika adalah studi tentang doktrin-doktrin dari Alkitab (yang dilihat secara kronologis) dengan dikelompokkan melalui karya tulis penulis tertentu (yang menekankan tema tertentu) atau dikembangkan dalam era tertentu. Misalnya tentang doktrin penebusan dapat dilihat melalui ajaran PL, Injil-Injil, Kisah Para Rasul, surat-surat Paulus, Petrus dan Yohanes. Teologi Biblika dibagi ke dalam dua bagian besar yaitu teologia Perjanjian Lama dan Teologia Perjanjian Baru.
Teologia Historika adalah teologia yang mempelajari ajaran-ajaran teologis gereja yang telah digumulkan sepanjang abad-abad sejarah gereja. Terdapat dua cara untuk menata teologia historika yaitu diakronis dan sinkronis. Cara diakronis adalah pendekatan untuk merunut sejarah pemikiran mengenai suatu doktrin tertentu (atau serangkaian doktrin) selama berbagai periode dalam sejarah gereja. Sementara secara sinkronis mempelajari teologi dari kurun waktu tertentu atau teolog tertentu atau aliran teologi tertentu berkenaan dengan beberapa pokok doktrinal penting.
Teologia Filosofika adalah studi tentang iman Kristen yang dilihat secara filsafat. Misalnya, tentang dasar/ alasan mengapa orang Kristen percaya pada eksistensi Allah, tentang identitas Allah dan relasi Allah dengan dunia, tentang keabsahan pemakaian bahasa religius, tentang hubungan sejarah dan agama, tentang wahyu, iman dan rasio dan sebagainya.
Jenis-jenis teologia ini menolong studi kita yang semakin fokus. Studi teologia yang mendalam tidak mungkin tidak fokus. Itu sebabnya pembagian ini menolong kita.

Signifikansi Teologi dan Audiens Teologia
Kita seringkali dihadapkan dengan suatu pertanyaan "Apakah itu memang perlu?". Seringkali kita menghindari pekerjaan berteologi dengan alasan "Bila saya mengasihi Yesus, bukankah itu sudah cukup?" Beberapa fakta seringkali dikemukakan sebagai alasan yang cukup bagi orang Kristen untuk menghindari tugas berteologia. Misalnya saja, teologia mempersulit iman Kristen, teologia itu tidak praktis-abstrak dan di awan-awan, teologia memecah gereja dan lain sebagainya. Patut dimengerti bahwa teologia tidak sesempit dan seburuk apa yang kita bayangkan. Bertolak dari apa itu teologia (natur teologia) sekarang kita meneliti seberapa pentingnya teologia itu (signifikansi teologia) dan signifikansi ini yang akan menentukan audiens teologia. Signifikansi teologia menentukan siapa saja yang berteologia dan memberikan alasan kepada kita mengapa kita harus berjuang untuk menggumulkan teologia tersebut.
Di dalam pembahasan mengenai natur teologia, kita lebih banyak melihat teologia dari sisi metode dan bukan isinya. Dari sisi metode, kita dapat melihat beberapa kepentingan teologia. Secara umum sebagai orang beragama - terlepas dari apa agamanya - kita pasti berteologia. Sebab teologia adalah tingkatan kedua dalam beragama yang mengurusi soal dogma dan keyakinan agama. Selain itu, teologia bertugas untuk mensistematiskan fakta-fakta dan prinsip-prinsip Alkitab. Hal ini menjadi penting ketika kita menyadari sifat Alkitab yang berkonteks dimana konteks Alkitab berbeda dengan konteks masa kini dalam hal waktu dan tempat, budaya dan bahasa, dan lain-lain. Perbedaan konteks ini mengakibatkan pembacaan terhadap fakta-fakta dan upaya sistematisasinya harus dilakukan dengan studi yang cermat sehingga kita dapat mengeliminir bias dalam penafsiran - meski tidak dapat menyingkirkannya sama sekali. (Teologia mengerjakan pekerjaan penafsiran).
Teologia juga menjadi penting sebab teologia membicarakan kerangka dan kerangka ini yang dipakai untuk menempatkan kembali aspek-aspek kebudayaan. Kita sadar bahwa kekristenan juga memiliki mandat budaya. Mandat budaya bermaksud untuk memimpin setiap aspek hidup manusia sehingga memuliakan Tuhan. Dalam rangka tugas ini, teologia harus hadir untuk menerjemahkan berita Alkitab dalam bahasa dan konteks kebudayaan. Itu sebabnya teologia menjadi penting.
Jika kita melihat pergumulan teologia dari sisi metode, kita menyimpulkan bahwa teologia begitu penting. Tetapi bukan hanya dari sisi metode saja teologia menjadi penting. Jika di tinjau dari sisi isinya, teologia juga sangat penting. Teologia - dalam hal isinya - merupakan pergumulan studi mengenal Allah dan hubungan Allah dengan alam semesta termasuk di dalamnya manusia . John Calvin melihat pengenalan akan Allah dan manusia sebagai dua hal yang sangat berhubungan. Calvin mengatakan "hampir semua kebijaksanaan yang kita miliki, yaitu yang benar dan kuat terdiri dari dua bagian yaitu pengenalan akan Allah dan diri kita" . Calvin menjelaskan berapa pentingnya pengenalan akan Allah bagi pengenalan akan diri kita. Ia berkata "sekali lagi, jelas bahwa manusia tidak pernah mencapai pengenalan yang jelas akan dirinya tanpa ia pertama-tama melihat kepada diri Allah dan kemudian turun dari perenungan akan Allah kepada pengujian terhadap diri sendiri" . Ia berkata bahwa seringkali kita menganggap diri kita benar, bijaksana, dan kudus. Kesombongan ini sudah tertanam dalam diri kita sebab kita memiliki nature of hypocrisy sampai kita merenungan berapa sempurnanya kebenaran, kebijaksanaan dan kekuasaan Allah sehingga kita menjadi rendah hati. Sebagai hasilnya, "kita harus simpulkan bahwa manusia tidak akan tersentuh dan merenungkan kerendahan/ kehinaannya sampai ia membandingkan dirinya dengan kemuliaan Tuhan" . Apa yang hendak disampaikan Calvin adalah bahwa dengan teologia yang benar, kita akan dituntun kepada citra diri yang benar.
Millard J. Erickson memberikan beberapa pertimbangan yang penting bahwa teologia memang perlu dan berguna . Yang pertama, teologi itu penting karena kepercayaan doktrinal yang tepat sangatlah penting dalam hubungan antara orang percaya dengan Allah. Dalam Alkitab kita melihat beberapa contoh yang penting. Di dalam Matius 16, Tuhan Yesus bertanya kepada murid-murid dan kemudian Petrus memberian kredo pertama dalam gereja yang sangat penting mengenai siapa Kristus yaitu: "Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup" (16:16). Berdasarkan kredo inilah gereja yang pertama didirikan. Dalam gereja kita hari ini, jelas bagi kita bahwa kredo merupakan formulasi dotrinal yang ringkas mewakili kepercayaan doktrinal kita. Misalkan saja Pengakuan Iman Rasuli dan Pemgakuan Iman Nicea-Konstantinopel yang sarat doktrinal. Contoh yang lain mengenai kepercayaan dokrinal yang penting adalah ketika Paulus memberikan penjelasan mengenai iman Abraham. Menurut Paulus, Abraham beriman bahwa Allah yang ia percayai adalah "Allah yang menghidupkan orang mati dan yang menjadikan dengan firman-Nya apa yang tidak ada menjadi ada" Roma 4:17. Apa yang Abraham percayai adalah iman kebangkitan dan iman penciptaan (creatio ex nihilo). Dapat disimpulkan bahwa apa yang Abraham percayai mewakili PB dan PL.
Yang kedua, teologia itu perlu karena kebenaran dan pengalaman berhubungan. Teologia membawa kebenaran ke dalam hidup kita. Hidup kita sebagai orang percaya selalu ingin hidup dalam kebenaran dan teologia memimpin pergumulan ini. Yang ketiga, teologia itu diperlukan karena saat ini terdapat banyak pilihan dan tantangan. Dari sisi agama-agama, kebangkitan agama timur dan New Age Movement menjadi alternatif baru dalam beragama - spiritualitas. Sementara dari kebudayaan, postmodernisme menjadi gerakan kebudayaan yang mendunia dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia. Itu sebabnya kekristenan harus menggembalakan aspek-aspek yang menjadi pokok gugatan dari kaum New Age Movement dan Postmodernisme.
Sementara Stanley J. Grenz memberikan tiga alasan pentingnya teologia dalam gereja . Yang pertama, kepentingan "polemik." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kebutuhan akan pemaparan sistem kepercayaan Kristen dalam konteks alternatif. Kedua, kepentingan "cathechetics." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kebutuhan akan pemaparan perintah-perintah Allah kepada umatNya. Ketiga, kepentingan "kesimpulan Alkitab." Maksudnya, teologia hadir untuk mengisi kerinduan orang percaya dalam menyimpulkan tema-tema dasar Alkitab kedalam suatu format kesimpulan (biblical summarization).
Dari pembahasan yang telah dikemukakan, dihasilkan dua kelompok kesimpulan. Secara metode, teologia penting karena merupakan tindakan agama yang menangani dogma dan keyakinan agama. Dogma selalu merupakan intisari dari kredo. Teologia penting karena membicarakan kredo dan dogma serta hubungannya. Ketika membicarakan kredo dan dogma, mau tidak mau teologia harus membicarakan hubungan apa yang dipercayai dengan kaum percaya. Itu sebabnya teologia yang berisi kepercayaan doktrinal yang tepat sangatlah penting dalam hubungan antara orang percaya dengan Allah (kepentingan Cathechetics).
Teologia penting karena teologia bermaksud membaca fakta-fakta Alkitab dengan benar. Asumsinya Alkitab adalah firman Allah bagi manusia.Fakta-fakta yang sudah ditemukan akan disistematiskan oleh teologia (kerangka). Kerangka sendiri dibentuk oleh Alkitab. Kerangka yang sudah disusun ini akan digumulkan ke dalam pengalaman sehari-hari. Teologialah yang memimpin pergumulan ini. Ketika kita bergumul untuk mengalami kebenaran, kita sedang bergumul dalam konteks dan masalah-masalah kebudayaan. Dengan demikian, sebenarnya teologia sedang menerjemahkan berita Alkitab ke dalam bahasa kebudayaan (mandat budaya). Di tengah banyaknya permasalahan kebudayaan, agama dan filsafat mencoba menawarkan berbagai pilihan maka teologia harus menilai semua itu dan memberi jawaban serta solusi di tengah beragamnya pilihan (kepentingan polemik).
Secara isi. Teologia menjadi penting karena memimpin manusia kepada citra diri yang benar. Teologia juga penting karena menolong orang percaya untuk mengerti isi kredo. Teologia juga menjadi penting karena menolong orang percaya menata konten-konten kebudayaan.

Teologi yang Berkerangka dan Bantahan Atasnya
Kita patut mengakui satu fakta bahwa Alkitab selain memberikan fakta dan prinsip-prinsip kebenaran, Alkitab juga memaparkan urutan-urutan, tingkatan-tingkatan dan kerangka. Misalnya dalam kejadian 1-2, secara jelas Alkitab memberikan tingkatan di mana Allah yang tertnggi kemudian manusia dan barulah ciptaan yang lain di tempat paling bawah. Ini berarti, teologia dalam pergumulannya juga harus menemukan kerangka yang disusun oleh Alkitab sehingga dengan kerangka inilah kita akan berteologia. Hal ini berasumsi bahwa kita tidak berteologia di luar kerangka.Sebagian orang menyebut kerangka ini sebagai sistem/ sistematika . Namun demikian, dalam perjalanan sejarah teologia, terdapat pandangan-pandangan yang menolak teologia yang bersistem/ kerangka. Kita akan mencoba melihat bantahan-bantahan tersebut dan mencoba memberikan bantahan-bantahan.
Bantahan yang diberikan kepada teologia yang berkerangka dikemukakan paling tidak oleh dua tokoh. Pertama, Friedrich Schleiermacher lalu yang kedua Karl Barth. Yang pertama, bantahan yang dilakukan oleh Friedrich Schleiermacher(1768-1834) dalam pendekatan baru yang ia kemukakan. Pendekatan baru dalam berteologia ini adalah teologia dipandang sebagai suatu "usaha menganalisis pengalaman kesadaran religius yaitu perasaan ketergantungan mutlak (the feeling of the absolute dependence). Pendekatan ini merupakan jalan tengah yang dikemukakan Schleiermacher setelah dua pendekatan - Reformasi dan Natural Theology - tidak bisa lagi dipertahankan oleh zamannya. Schleiermacher yang banyak dipengaruhi oleh seorang filsuf Jerman Immanuel Kant sudah menolak natural theology. Sementara di sisi lain, Alkitab sebagai sumber teologia yang dipakai dalam pendekatan Reformasi juga tidak lagi dapat diterima oleh Schleiermacher sebagai Firman Allah. Baginya, Alkitab hanyalah "catatan pengalaman agamawi" . Itu sebabnya, ditambah dengan pengaruh Romantisisme, Schleiermacher tiba pada kesimpulan bahwa "pengalaman yang sejati dengan Allah ternyata tidak diperoleh manusia melalui 'pemahaman rasionil atas formulasi-formulasi doktrin` atau melalui `keterlibatan dengan tingkah laku agama' ” .melainkan melalui pengalaman "`God-consciousness` yaitu pengalaman kehadiran Allah melalui `feeling of absolute dependency.'" Pengalaman ketergantungan mutlak kepada Allah menurut Schleiermacher dapat dilatih dengan dua cara yaitu dengan melatih kesadaran akan dosa dan kehausan untuk diperdamaikan dengan Allah serta dengan dengan pengalaman mistik akan kehadiran Allah melalui meditasi.
Pendekatan yang dikerjakan oleh Schleiermacher telah coba ditanggapi oleh Colin Brown. Colin Brown berkata bahwa "Schleiermacher berusaha bersikap empiris di dalam pendekatannya, menolak spekulasi abstrak demi kebaikan analisa pengalaman agamawi. Kesulitannya bukanlah dia terlalu bersikap empiris tetapi karena dia tidak cukup bersikap empiris." Menurut Brown, Schleiermacher tidak pernah meneliti dengan tuntas pengalaman agamawi, malah sebaliknya "secara diam-diam ia menikmati ide-ide jelas dan tegas dari rasionalisme abad ke tujuh belas." Selain itu, kesalahan yang telah dilakukan Natural Theology yang mencoba membaca mem-by-pass wahyu dalam pengenalan akan Allah dan diganti dengan rasio, terletak pada kemutlakan penggunaan rasio untuk mengenal Allah. Ini tidak berarti bahwa rasio harus diabaikan sama sekali dalam berteologia. Justru rasio harus ditempatkan pada tempatnya, dipakai untuk membaca, mengerti dan menelaah wahyu Allah dalam pengenalan Allah dan bertempat bukan melawan iman melainkan di bawah iman. Artinya tetap ada sisi di mana rasio cukup dan itulah sisi dari iman - iman melampaui rasio. Sedangkan penolakan Alkitab sebagai firman Allah berdasarkan asumsi Deisme, merupakan sesuatu yang tidak perlu dilakukan karena Deisme bertentangan dengan fakta yang terjadi di dalam dunia di mana banyak kejadian terjadi di luar jangkauan pikiran manusia.
Yang kedua adalah bantahan yang dikemukakan oleh Karl Barth (1886-1968). Bantahan yang dikemukakan Barth atas teologia yang berkerangka berangkat dari konsep Allah yang transenden/ wholly other. Allah yang demikian berbeda secara kualitas dengan manusia dan Allah yang sama sekali transenden. "Ia sama sekali tidak bisa diidentifikasikan langsung dengan apapun yang ada di dunia ini, bahkan dengan firman dalam Alkitab." Ini berarti Barth menolak pengenalan akan Allah melalui Alkitab. Menurut Barth, pengenalan akan Allah adalah "akibat dari pertemuan dengan Allah, yang sebenarnya adalah akibat dari pertemuan dengan Kristus, karena Kristus adalah wahyu Firman Allah kepada manusia." "Alkitab adalah Firman Allah sejauh Allah berbicara melaluinya... oleh karena itu Alkitab menjadi Firman Allah pada peristiwa itu... ." Jikalau pengenalan akan Allah adalah sesuatu yang subyektif dan eksistensial maka teologia yang berkerangka, suatu sistem teologia dengan kalimat-kalimat proposisi di dalamnya harus ditolak. Dan memang inilah yang terjadi pada teologia Barth sebagaimana yang dikemukakan oleh Eberhard Jungel, guru besar Teologi Sistematika di Universitas Tubingen, murid terdekat Barth bahwa "teologia Barth adalah... musuh dari sistem-sistem... tulisan sistematisnya Church Dogmatics ... menghasilkan koreksi yang konstan... hal ini menjelaskan perubahan penting dalam perkembangan teologia Barth." Allah yang dipercayai Barth sebagai the wholly other, yang lain sama sekali, adalah Allah yang "tetap bebas, bebas dari keterikatan dalam formulasi doktrin bahkan bebas dari masa lampau di mana Ia 'pernah' menyatakan diri-Nya.
Allah memang tidak bisa dikurung oleh formulasi doktrin. Namun demikian kita perlu sadar bahwa kurungan yang diberikan kepada Allah bukan datang dari luar diri-Nya melainkan dalam diri-Nya sendiri. Hal ini lebih tepat bukan disebut sebagai kurungan melainkan sebagai integritas. Allah memang bebas tetapi kebebasan Allah tentu terikat oleh integritas sifat yang lain, misalnya kekudusan. Itu sebabnya, Alkitab tidak perlu dilihat sebagai sebuah pembatasan terhadap Allah yang dilakukan oleh manusia, melainkan bahwa Allah memilih untuk membatasi diri-Nya dalam bahasa manusia ketika Ia berkomunikasi dengan manusia - sebagimana yang Ia lakukan ketika memberi nama. Pembatasan ini adalah kerendahan hati Allah yang memuncak pada saat Allah membatasi diri dalam Yesus Kristus yang berinkarnasi. Jadi, kita tetap bisa mengenal Allah melalui Alkitab sebagai wahyu Allah. Sementara, teologia tetap terbuka untuk dikoreksi oleh Alkitab, jika teologia mulai memberikan pembatasan kepada Allah. Dan teologia juga tidak boleh mengurung pengalaman religius orang percaya dalam kebenaran ketika mereka juga mengalami existencial encounter ketika membaca dan merenungan Alkitab sebagai Firman Allah.

Kesimpulan dan Audiens Teologia
Melihat berapa pentingnya berteologia bagi orang percaya maka kita sadar bahwa setiap orang adalah teolog karena mereka berespon kepada Allah. Secara luas, setiap orang yang beragama sedang berteologia. Sedangkan secara khusus, setiap orang yang percaya kepada Allah Tritunggal, yang percaya Alkitab adalah Firman Allah harus berteologia.

Dari tulisan yang lalu, kita telah melihat pentingnya teologia itu. Pertanyaannya sekarang adalah, dari sumber manakah kita harus mulai. Pertanyaan ini diberikan karena teologia bukan sesuatu yang ada pada dirinya Sendiri melainkan "dari setiap sistim teologia merefleksikan penggunaan norma-norma tertentu yang berfungsi sebagai sumber-sumber tertentu yang dipakai oleh teolog menjalankan mandat teologia." Oleh sebab itu, dalam tulisan ini kita mencoba memikirkan hal-hal apa saja yang dapat merupakan sumber yang sah bagi teologia baik secara deskriptif maupun preskriptif.
Yang pertama-tama perlu kita pikirkan bahwa sumber-sumber berperan dalam empat hal penting belajar dan mengerjakan teologia. Pertama, sumber-sumber teologia membuka wadah pergumulan kita dalam berteologia. Tanpa sumber-sumber itu, kita
tidak tahu apa yang harus digumulkan dalam teologia. Meski demikian, banyak kali, di bawah sadar sebetulnya kita sudah menggunakan sumber-sumber itu. Kedua, sumber-sumber teologia memberikan isi kepada teologia. Hal-hal yang digumulkan dalam wadah pergumulan harus mendapatkan jawaban pertama-tama dari Alkitab secara langsung dan kedua dari pergumulan sejarah gereja akan Alkitab. Dalam hal ini sekali lagi, Alkitab mengambil tempat yang terutama. Ketiga, sumber-sumber
memberikan masukan pendekatan berteologia. Sifat dari tiap sumber memunculkan metode pengetahuan yang berbeda. Terakhir, sumber-sumber membantu kita menggumulkan kerangka teologia. Misalnya kita mempelajari kerangka yang dibangun oleh sejarah gereja. Jadi, dalam mempelajari sumber-sumber teologia, kerangka-kerangka ini menolong kita.

Pengajaran Roma Katolik
Dua sumber utama dalam mengenal Yesus Kristus (baca: dalam berteologia) menurut Roma Katolik adalah Tradisi dan Kitab Suci. Penetapan ini berdasarkan forum resmi Gereja Roma Katolik seluruh dunia yaitu Konsili Vatikan II pada 18 November 1968. Tradisi yang dimaksudkan oleh Roma Katolik adalah ''proses komunikasi iman dari satu angkatan kepada angkatan berikut dan orang sezaman." Hal-hal yang dikomunikasikan oleh tradisi adalah "dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya." Tradisi mendapat tempat yang penting sebagai sumber teologia dalam Roma Katolik berdasarkan asumsi bahwa keseluruhan orang beriman tidak dapat sesat dalam beriman dan bahwa bimbingan yang diberikan oleh para uskup/ pemimpin juga tidak dapat sesat. Di dalam salah satu pasal dari Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa "keseluruhan kaum beriman, yang telah diurapi oleh (Roh) Yang Kudus, tidak dapat sesat dalam beriman; dan sifat yang istimewa itu mereka tampilkan melalui perasaan iman segenap umat, bila - dari uskup hingga para awam beriman yang terkecil - secara keseluruhan menyatakan kesepakatan tentang perkara-perkara iman dan kesusilaan."
Sementara mengenai bimbingan yang diberikan oleh para uskup dan mereka yang berwenang mengajar yang suci, Konsili Vatikan II mengajarkan bahwa "...Begitu juga ketidaksesatan dalam bimbingan tidak dimiliki oleh uskup-uskup perorangan, juga tidak oleh Paus, melainkan oleh para uskup bersama sebagai dewan pimpinan Gereja dan Paus sebagai kepala dewan itu." Ini berarti, tradisi yang berpusat pada pergumulan iman gereja dan bimbingan para pemimpin gereja merupakan sumber yang penting bagi proses berteologia dalam Roma Katolik. Namun demikian, pihak Roma Katolik sendiri menolak pernyataan bahwa tradisi merupakan sesuatu yang "kolot." Menurut pihak Roma Katolik, tradisi bersifat "penyerahan, penerusan dan komunikasi terus-menerus...sesuatu yang masih terjadi sekarang ini juga. Gereja yang hidup dan berkembang, itulah tradisi. Gereja dan tradisi sama. Tradisi adalah paham gereja yang dinamis."
Sementara di pihak lain, Kitab Suci juga merupakan sumber kedua yang penting dalam berteologia bagi Roma Katolik. Kitab Suci-khususnya Perjanjian Baru merupakan tradisi yang perdana yaitu gereja perdana merupakan dasar dan inti pokok untuk tradisi berikutnya. Perjanjian Baru merupakan pusat dan sumber dari seluruh tradisi, "bukan karena tulisan atau rumusannya, melainkan karena iman Gereja perdana yang terungkap di dalamnya." Sementara Perjanjian Lama merupakan pelaksanaan karya keselamatan dalam sejarah Israel yang akan mencapai puncak dan kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus. Jadi, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru "merupakan ungkapan dan rumusan tradisi sebagai pertemuan dan kesatuan antara Allah dan manusia." Hal ini berarti bahwa tradisilah yang menentukan Kitab Suci atau dengan kata lain, Kitab Suci dibaca dalam kerangka tradisi. "Tradisi mempunyai titik beratnya dalam Kitab Suci, tetapi tidak terbatas pada Kitab Suci." Sebaliknya, "kalau Kitab Suci dilepaskan dari tradisi, ia kehilangan arti dan fungsinya." Meskipun demikian, Roma Katolik tetap menerima seluruh Kitab Suci sebagai "sabda Allah yang ditanggapi manusia dalam iman."
Kita melihat bahwa Roma Katolik mementingkan tradisi dan dengan demikian mementingkan gereja. Gereja yaitu suatu organisasi eksternal di bawah pimpinan Paus mendapat tempat yang utama. Gereja dan tradisi yang adalah sama menentukan segala sesuatu. Inilah yang pertama-tama tidak bisa diterima oleh Martin Luther. Sejarah mencatat bahwa pemicu Reformasi Luther adalah penjualan surat penghapusan siksa bagi orang-orang berdosa oleh Tetzel. Hal ini berarti Luther pada waktu itu melihat otoritas Gereja sudah sedemikian jauh dalam kehidupan orang percaya, sampai termasuk hal-hal yang merupakan privasi antara orang percaya dan Tuhan yaitu penyesalan dan pengampunan dosa. Lagi, asumsi bahwa orang beriman dan para pemimpinnya tidak mungkin sesat adalah asumsi yang bertentangan dengan Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa meskipun kita sudah ditebus oleh Tuhan, kitapun masih mungkin jatuh dalam dosa. Luther mengatakan bahwa meskipun kita sudah memperoleh status yang baru melalui pembenaran yang sejati kita tetap adalah semper iustus et peccator ("selalu sekaligus orang benar dan juga orang berdosa"). Dengan demikian, jika asumsi-asumsi yang dipakai adalah salah maka tradisi tidak dapat menjadi otoritas mutlak bagi teologia dan juga menjadi penentu bagi Alkitab sebaliknya, Alkitab yang adalah Firman Allah-lah yang harus menjadi otoritas mutlak dan penentu bagi teologia. Dan malahan, bukan saja teologia harus berada di bawah 'penghakiman' Alkitab melainkan teologia juga bertugas untuk "mempertimbangkan tradisi di bawah terang firman Tuhan."

Pengajaran John Calvin
Pada pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa Calvin memikirkan dua macam pengetahuan yang saling terkait yaitu pengetahuan atau pengenalan akan Allah dan akan diri sendiri. Sekarang, ketika membicarakan mengenai pengenalan akan Allah sebagai pencipta, Calvin mengatakan bahwa Alkitab sangat diperlukan dalam pengenalan akan Allah selain ciptaan yang sudah menyatakan Allah kepada semua orang tanpa kecuali. Calvin melihat Alkitab - dibandingkan dengan wahyu umum sebagai "tanda yang lebih langsung dan lebih pasti dalam memperkenalkan diri-Nya." Ada beberapa alasan mengapa Alkitab begitu penting. Pertama, Alkitab adalah Firman Allah. Kedua, tanpa Alkitab kita akan jatuh kepada kesalahan dalam mengenal Allah. Calvin mengatakan "Jika kita beralih dari Firman, seperti yang baru saya kemukakan, meskipun kita berusaha dengan suatu upaya yang mati-matian, tetapi karena kita keluar dari track, kita tidak akan pernah mencapai tujuan (untuk mengenal Allah)." Ketiga, Alkitab mengkomunikasikan kepada kita hal-hal tidak dapat dilakukan oleh wahyu di dalam ciptaan. Jadi bagi Calvin, Alkitab merupakan otoritas tertinggi dalam seluruh pergumulan teologis orang percaya.
Alkitab yang merupakan otoritas tertinggi bagi orang percaya mendapat otoritasnya bukan dari gereja melainkan dari Tuhan sendiri. Calvin berkata bahwa "Alkitab mempunyai otoritas penuh atas orang percaya jika manusia menghargai Alkitab sebagai yang turun dari surga, sebagai perkataan Allah yang hidup yang diperdengarkan. Sebaliknya, ketika orang percaya memberikan pertanyaan yang meragukan otoritas Alkitab sebagai Firman Allah, misalnya "siapakah yang dapat meyakinkan kita bahwa tulisan-tulisan ini datangnya dari Allah?", mereka sedang menghina Roh Kudus. Hal ini disampaikan Calvin berdasarkan alasan bahwa "bukti yang tertinggi dari Alkitab secara umum berasal dari fakta bahwa Allah secara pribadi berbicara dalamnya." Dan apa yang disampaikan Allah dalam Alkitab, disaksikan secara rahasia oleh Roh Kudus - dan hal ini melampaui semua pikiran, penghakiman dan alasan-alasan manusiawi. Roh Kudus yang berbicara melalui mulut para rasul dan nabi, Roh Kudus yang sama juga yang akan memberikan kesaksian tentang otoritas Alkitab sebagai Firman Allah. Dan tentunya, Alkitab yang juga bersifat self-authenticated (bersaksi bagi dirinya sendiri). Jadi, sebagaimana yang dikemukakan Pengakuan Iman Westminster, otoritas final dalam pergumulan teologis gereja adalah "Roh Kudus yang berbicara dalam Alkitab."

Pengajaran Charles Hodge
Pada pembahasan sebelumnya, kita juga telah melihat bahwa teologia, bagi Hodge, merupakan sebuah koleksi dan kerangka dari fakta-fakta dan prinsip-prinsip dalam Alkitab. Maka, konsisten bagi Hodge, Alkitab mengandung semua fakta dari teologia. Hal ini menurut Hodge, merupakan sebuah konsistensi yang sempurna antara struktur kita sebagai rational and moral beings di satu pihak dan kuasa pengontrolan atas kepercayaan kita oleh pengajaran Roh Kudus di pihak lain. Ada dua alasan untuk ini. Pertama, semua kebenaran pasti konsisten karena Allah tidak mungkin berkontradiksi pada diri-Nya sendiri. Hal ini berarti, apa yang Allah inginkan untuk kita percayai (benih kepercayaan dalam natur kita) dengan apa yang ada dalam firman-Nya tidak mungkin bertentangan. Alasan kedua, semua kebenaran baik yang ada pada natur kita dan apa yang kita alami melalui tuntunan Roh Kudus (pengalaman Agama) sudah diperkenalkan secara resmi dalam Alkitab. Alkitab merupakan safeguard and limit. Dan yang penting adalah bahwa "tidak ada bentuk keyakinan yang lebih intim dan bersifat tidak bisa gagal dibandingkan dengan pengajaran internal dari Roh Kudus." Sebagai kesimpulan Hodge mengatakan "Alkitab bukan saja memberikan fakta-fakta mengenai Allah dan Kristus, diri kita dan hubungan kita dengan Pencipta dan Penebus kita tetapi juga rekaman-rekaman tentang efek yang pasti terjadi dari kebenaran-kebenaran yang ada dalam pikiran orang percaya. Sehingga, bahwa kita tidak dapat mengharapkan perasaan atau pengalaman batiniah kita sebagai dasar atau petunjuk kecuali kita dapat menunjukkan bahwa hal itu (perasaan dan pengalaman batiniah kita) sesuai dengan pengalaman dari orang-orang kudus sebagaimana yang dicatat dalam Alkitab."

Pengajaran Millard J. Erickson
Millard Erickson mengemukakan satu pertanyaan yang penting "mengapa Alkitab harus merupakan sumber dan kriteria utama dalam membangun pengertian kita tentang teologi Kristen atau bahkan tentang kekristenan." Jawaban yang hendak diberikan oleh Erickson adalah dengan meneliti sifat dari kekristenan. Menurutnya, kekristenan bukanlah lembaga yang memiliki beberapa sasaran, tujuan atau dasar penentu. Kekristenan adalah "suatu gerakan yang mengikuti Yesus Kristus." Oleh karena itu, seluruh pergumulan kekristenan bergantung kepada pengajaran Tuhan Yesus. Di luar Alkitab, menurut Erickson, hampir tidak ada informasi mengenai apa yang dilakukan dan diajarkan oleh Yesus. Hanya di dalam Alkitab yaitu seluruh kitab Injil. Setelah kitab-kitab Injil, menyususl kitab-kitab yang disahkan oleh Tuhan Yesus sendiri (Perjanjian Lama). Meskipun Erickson tidak membicarakan surat-surat Paulus dan kitab-kitab lainnya dalam Perjanjian Baru, ia tetap mengakui seluruh Alkitab sebagai sumber utama. Namun demikian, Erickson juga tidak mengesampingkan semua sumber lainnya sama sekali. Alasannya, Allah juga menyatakan diri-Nya dengan cara-cara umum di berbagai bidang seperti alam dan sejarah (yang juga dibicarakan dalam Alkitab).

Pengajaran Stanley Grenz
Grenz menyimpulkan tiga sumber utama atau norma bagi teologia yaitu berita Alkita, warisan teologis dari gereja dan bentuk-bentuk berpikir dari konteks historis-kultural bagi orang-orang di mana Allah sedang berbicara dan bertindak kepada mereka (kontemporer). Yang pertama, bagi Grenz, yang terpenting untuk diteliti oleh teologia adalah Alkitab sebagaimana yang dikanonisasikan oleh gereja. Dalam penjelasannya, Grenz mengemukakan beberapa fungsi dari Alkitab. Alasannya adalah, berdasarkan natur teologia yang merupakan refleksi dan artikulasi iman dan iman merupakan respon kita kepada Tuhan yang berkontak dengan kita dalam penyataan diri-Nya yang historis maka teologia kita harus dengan serius memperhatikan kabar baik yang sudah dikemukakan pada kebudayaan kuno. Kita harus pertama-tama memperhatikan pekerjaan keselamatan yang Allah kerjakan dalam sejarah Israel, Yesus dan gereja mula-mula. Grenz menolak untuk mengikuti tradisi yang berusaha membuktikan Alkitab sebagai firman Allah. Hal itu sangat tidak penting menurutnya. Dalam berteologia, menurut Grenz, kita cukup berasumsi bahwa terdapat relasi integral antara teologi dengan komunitas orang beriman. Karena Alkitab merupakan dokumen dasar gereja yang sudah dikenal, beritanya berfungsi sebagai norma sentral bagi artikulasi sistematis iman dan komunitas. Ini adalah fungsi yang pertama.
Fungsi kedua, menurut Grenz, Alkitab berfungsi dalam gereja sebagai dokumen di mana Roh Kudus terus bekerja. Fungsi ketiga, Alkitab berhubungan dengan wahyu historis Allah. Wahyu menurut Grenz merupakan penyataan diri Allah supaya Ia dikenal. Wahyu merupakan grand climax of human history. Dan, dalam Alkitab, diceritakan mengenai bagaimana Allah membuka diri-Nya dalam sejarah untuk dikenal oleh manusia. Menurut Grenz, "Alkitab mengemas kesaksian dasar dari penyataan diri Allah dan rekaman bagaimana komunitas-komunitas iman zaman kuno berespon kepada kesadaran mereka bahwa Allah telah menjadikan mereka sebagai umat perjanjian-Nya. Fungsi yang terakhir adalah fungsi "regulatif." Fungsi ini dimengerti dalam hal bahwa komunitas orang percaya zaman dahulu menyediakan framework linguistik dan kultural di mana orang-orang zaman sekarang dapat mengerti kehidupan mereka dan mencoba menggumulkan kehidupan saat ini.
Sumber kedua adalah warisan teologis dari sejarah gereja. Gereja telah berjuang dalam iman dalam konteks historis dan kulturalnya dan hal itu masih menjadi hal yang penting bagi pergumulan teologia saat ini. Ada beberapa hal yang perlu dicatat berkenaan dengan sumber ini. Pertama, sifat instruktif, bahwa teologia masa lampau mengingatkan kita akan mandat teologis, menolong kita untuk terhindar dari kesalahan dan mendorong kita untuk berpegang pada sejumlah hal yang harus kita pegang saat ini. Selain itu, teologia masa lampau menjadi penting karena hal-hal tersebut telah melewati ujian waktu. Namun demikian, Grenz, tetap melihat bahwa semua pergumulan teologis masa lampau tetap harus diuji di bawah terang firman Tuhan.
Sumber yang terakhir adalah pergumulan pemikiran kebudayaan kontemporer. Kita menghidupi konteks di mana kita harus membawa berita kepada mereka dan ini penting untuk digumulkan saat ini juga.

Kesimpulan
Sesuai dengan penjelasan yang telah dikemukakan di atas disimpulkan bahwa:
1. Alkitab merupakan otoritas tertinggi bagi teologia. Alkitab pertama-tama menyediakan wadah pergumulan, menyediakan jawaban, mengkonstruksi kerangka dan memberikan metode. Sifat Alkitab menentukan bagaimana kita harus mendekatinya. Alkitab juga adalah hakim atas tradisi dan teologia.
2. Warisan teologia masa lampau berperan sebagai wadah pergumulan, usulan jawaban, bantuan bagi kerangka dan contoh dari metode. Namun warisan teologia masa lamapau bukanlah hakim atas teologia dan tradisi.
3. Pergumulan kebudayaan dan pengalaman imana masa kini memberikan wadah bagi pergumulan, tuntutan jawaban, tantangan bagi kerangka dan ujian bagi metode teologia kita. (Tamat)

Antonius Steven Un menyelesaikan Sarjana Komputer di Universitas Bina Nusantara, Jakarta dan Master of Divinity di Intitut Reformed Jakarta. Saat ini melayani di GRII Bandung & MRII Semarang. Tulisan-tulisannya tentang teologi, filsafat dan kebudayaan pernah dimuat di Jawa Pos, Suara Pembaruan, Sinar harapan, Investor Daily, Surya, SINDO sore, Kompas Jawa Timur dan Suara Karya.

Minggu, 23 Agustus 2009

Apa Itu GKKR?

Gerakan Kebangunan Kristen Reformed (GKKR), didirikan oleh Muriwali Yanto Matalu, sejak masih duduk di tingkat akhir pada Sekolah Tinggi Theologi Salem, Malang. Tepatnya dimulai pada tanggal 6 Maret 2006, oleh karena visi & beban yang jelas dari Tuhan. Gerakan ini adalah sebuah gerakan kebangunan theologi sistematika dan apologetika Reformed yang dikombinasikan dengan penginjilan dan disertai semangat kebangunan rohani serta mandat budaya.

Visi & Misi

Kami melihat bahwa di mana-mana, kondisi kekristenan saat ini baik dalam hal iman sejati, pengetahuan akan kebenaran Firman, dan kehidupan moral orang Kristen sungguh sangat menyedihkan.
Hal ini disebabkan oleh Modernisme dan theologi Liberal yang walaupun sudah tidak memiliki kekuatan, tetap masih bercokol di dalam gereja-gereja lama, yang di Indonesia rata-rata merupakan hasil misi gereja Reformed Belanda. Gerakan Kharismatik ekstrim membawa kekacauan doktrin yang sedemikian hebat, yang melemahkan iman sejati serta mengaburkan pengajaran firman yang benar. Bangkitnya Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) dengan nafas panteisme, yang meninggikan segala sesuatu sebagai Allah dan memelorotkan Allah menjadi segala sesuatu, serta filsafat Postmodern yang memaksa kemutlakan kebenaran Allah tunduk pada subyektivisme dan relativisme.
Hal-hal ini sangat menakutkan, dan timbul pertanyaan, masihkah iman Kristen sejati diberitakan? Masihkah Injil yang murni tentang salib penebusan Kristus diproklamirkan? Masihkah suara menggembirakan dari Firman, yang mengajar, menyatakan kesalahan, memperbaiki kelakuan serta mendidik orang dalam kebenaran, diteriakkan dari mimbar-mimbar Kristen?
Kami juga melihat bahwa kantong-kantong Kristen di beberapa daerah di Indonesia semakin meredup dan melemah. Siapakah yang akan mendengarkan dan memerhatikan teriak mereka? Perlukah re-evangelisasi dan pembinaan teologi kepada mereka?
Gerakan Kebangunan Kristen Reformed dengan dasar teologi Reformed yang ketat, didirikan untuk menjawab tantangan ini.

Pelayanan GKKR saat ini:

1.Pembinaan Iman Kristen RRI Pro 1 Malang, FM 94.6 dan AM 891, setiap Sabtu, pukul 16.30 - 17.30, (kecuali ada siaran langsung sepak bola dan selama bulan puasa). Pembicara Muriwali Yanto Matalu. Acara ini diadakan GKKR bekerja sama dengan RRI Pro 1 Malang. Sejak bulan Februari 2007 sampai sekarang kami sudah membahas tema-tema antara lain tentang Roh Kudus, Ucapan Bahagia, 10 Hukum Tuhan, Doa Bapa Kami serta Pengakuan Iman Rasuli dan saat ini sedang membicarakan doktrin Kristus. Berdasarkan telepon dan sms yang kami terima, siaran ini juga didengar oleh orang-orang Kristen di Pasuruan, Blitar dan Mojokerto bahkan sampai di Tuban.

2.Pembinaan tetap setiap Senin di Malang, pkl. 16.30-18.30 bertempat di jl. Sarangan Atas 37, Malang.

3.Pembinaan tetap di Melolo, Sumba Timur setiap Rabu pukul 17.30-18.30 WITA, via HP langsung dari Malang, di rumah Bapak Tamu Kalaway, Kampung Baru, Melolo.

4.Penerbitan bacaan Kristen Suara Reformasi.

5.Seminar dan Kebaktian Kebangunan Kristen yang diadakan secara berkala. Baik di Malang maupun di tempat-tempat lain.

Abraham Kuyper: Kristus Raja Segala Bidang

OLEH MURIWALI YANTO MATALU

DAFTAR ISI


1. Kata Pengantar
2. Pendahuluan
3. Riwayat Singkat Kuyper
4. Reformasi Gereja
5. Keunikan Pikiran Kuyper
6. Mandat Budaya
7. Kemuliaan Karakter Kuyper
8. Penutup: Reformed Sekilas Pandang










KATA PENGANTAR

Saya bersyukur kepada Tuhan atas anugerah-Nya, sehingga buku kecil ini dapat ditulis dan diterbitkan. Buku ini tidak bermaksud membahas Abraham Kuyper secara lengkap, tetapi hanya sebagai pemaparan jiwa dan semangat Kuyper, yang pada zaman ini patut diteladani. Saya sangat berharap bahwa perjuangan untuk mempermuliakan Kristus di dalam segala bidang juga menjadi semangat suci yang harus ditegakkan di zaman kita sekarang ini.
Bidang apakah dalam hidup pribadi kita, keluarga, sekolah, masyarakat dan negara yang belum ditaklukkan kepada Kristus? Bagi kita orang percaya, segala sesuatu berasal dari Tuhan, dan oleh karena itu, maka segala sesuatu harus dikembalikan untuk hormat dan kemuliaan-Nya.
Kuyper sudah menaati dan melakukan panggilan suci ini di zamannya. Sekarang, giliran kitalah yang hidup di zaman ini untuk berdiri berhadapan dengan dunia dan memproklamasikan supremasi Kristus dan Firman-Nya di dalam segala lapangan hidup. Biarlah oleh hidup kita Allah Tritunggal dimuliakan, HALELUYAH.

Muriwali Yanto Nd. Matalu













PENDAHULUAN

Kehidupan Kristen adalah kehidupan yang unik. Kita manusia berdosa ditebus oleh Kristus, untuk diutus kembali ke dalam dunia ini supaya menjadi garam dan terang. Doa Tuhan Yesus untuk murid-murid-Nya dalam Yohanes 17:15-19, berkata: “Aku tidak meminta, supaya Engkau mengambil mereka dari dunia, tetapi supaya Engkau melindungi mereka dari pada yang jahat. Mereka bukan dari dunia, sama seperti Aku bukan dari dunia. Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran.”
Jadi, kita diselamatkan oleh Tuhan dan menjadi eklesia atau orang-orang yang telah dipanggil keluar oleh Tuhan dari dunia yang jahat, bukan untuk meninggalkan dunia yang jahat tersebut tetapi untuk memberitakan Injil dan memberikan pengaruh yang baik. Memberitakan Injil disebut sebagai mandat penginjilan. Memberikan pengaruh yang baik disebut sebagai mandat budaya.
Ketika kita mengerti kedua mandat di atas dengan benar, kita akan terhindar dari dua ekstrim yang salah. Ekstrim yang pertama adalah menarik diri dari dunia, karena dunia ini jahat. Hidup membiara pada zaman dahulu adalah akibat ekstrim ini. Hal ini juga ditunjukkan oleh orang-orang Injili yang sempit zaman ini yang membedakan antara yang sekuler dan rohani secara dualistik. Gereja, gedung Gereja, organisasi, program-program pelayanan, khotbah, pengabaran Injil dan sebagainya dipandang sebagai yang rohani. Sedangkan politik, ekonomi dan bisnis, ilmu pengetahuan, seni dan lain-lain dianggap sebagai bidang sekuler.
Ekstrim yang kedua adalah, kekristenan terlampau masuk ke dalam dunia dan segala permasalahannya, sehingga akhirnya kehilangan esensi kekristenannya. Inilah yang ditunjukkan oleh Social Gospel - Injil Sosial. Kekristenan pada akhirnya hanyalah berupa aksi-aksi sosial dan tidak ada pemberitaan Injil di dalamnya.
Konsep mandat budaya yang ditawarkan oleh teologi Reformed akan memberikan kita wawasan yang benar, tentang bagaimana keterlibatan orang Kristen di dalam panggung dunia ini. Kuyper merupakan satu-satunya teladan dari kalangan Reformed yang merambah segala bidang kehidupan demi mempermuliakan Kristus. Ini adalah semangat Alkitab. Paulus menulis di dalam Roma 11:36: “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” Jika segala sesuatu berasal dari Dia, oleh Dia dan untuk kemuliaan-Nya, maka segala sesuatu haruslah dipersembahkan kepada Dia.
Visi besar Kuyper adalah membawa seluruh bidang kehidupan manusia untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Tuhan harus menjadi raja atas segala bidang. Visi besar ini biarlah juga menjadi visi kita bersama.
Ada tiga kesulitan besar di dalam menjalankan visi ini, yaitu:
1. Dunia ini sudah jatuh ke dalam dosa, dan penguasa dunia berdosa adalah Iblis. Musuh utama visi ini adalah Iblis. Dia memanifestasikan kekuatannya di dalam segala bidang bahkan juga ke dalam bidang Gereja. Segala macam filsafat, semangat zaman, teologi, ilmu pengetahuan, seni, pendidikan, politik, ekonomi dan sebagainya, yang melawan Tuhan adalah berasal dari si jahat. Tuhan Yesus berkata bahwa dia adalah pendusta dan pembunuh manusia dari mulanya, Yoh. 8:44. Paulus berkata bahwa kita bukan melawan darah dan daging tetapi melawan pemerintah-pemerintah, penguasa-penguasa, penghulu-penghulu dunia yang jahat ini, dan roh-roh di udara. Ef.6:12. Menjalankan visi besar ini berarti berhadapan dan berperang melawan Iblis.
2. Kesulitan yang kedua adalah berkaitan dengan manusia berdosa secara umum. Manusia dengan natur berdosanya, menentang pengenalan akan Allah. Manusia menciptakan Allah sesuai dengan keinginannya sendiri. Fuerbach berkata bahwa manusia menciptakan Allah menurut gambar dan rupanya. Bagi dunia berdosa yang menciptakan ilah bagi dirinya, sesuai dengan imajinasinya, hal ini benar. Tetapi tidak demikian bagi Allah Kristen. Allah Kristen tidak diciptakan menurut gambar dan rupa manusia, tetapi justru Allahlah yang menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya.
3. Kesulitan terakhir adalah berkaitan dengan dunia kekristenan sendiri. Adalah ideal bagi Gereja dan orang percaya memiliki satu teologi yang benar yang lahir dari Alkitab, yang kita terima bersama-sama. Tetapi, sejarah Gereja membuktikan bahwa ideal di atas hanyalah sebuah keinginan yang tidak mungkin terjadi. Hal ini menimbulkan kesulitan tersendiri bagi umat Kristen untuk bersama-sama bergerak memberikan pengaruh yang baik bagi kebudayaan manusia dan untuk mempersembahkan hal itu kepada Kristus. Sebuah ironi yang menyedihan di dalam kekristenan adalah bahwa sebuah gerakan kekristenan yang benar, dilawan oleh orang-orang Kristen sendiri, dan yang lebih aneh lagi, gerakan Kristen yang banyak menyimpang dari prinsip-prinsip Alkitab justru didukung oleh berbagai pihak.
Tetapi, dengan tidak menghiraukan perlawanan-perlawanan dunia di atas, Kuyper tampil dengan segala keberanian dan kobaran api Tuhan untuk mengadakan satu gerakan Kristen dengan basis teologi Reformed/Calvinis, merebut segala bidang dengan sekuat tenaga untuk dipersembahkan kepada Kristus. Saat itu Gereja Belanda menyeleweng dari doktrin yang benar, karena modernisme, liberalisme serta humanisme beria-ria di dalam Gereja. Tetapi, walaupun dengan kekuatan yang kecil, dia mulai mengorganisir sebuah Gerakan Calvinis, yang sudah terlebih dahulu dirintis oleh orang-orang seperti Hendrik de Cook dan Groen van Prinsterer. Akhirnya oleh ketekunan dan ketabahan disertai dengan iman dan pengahrapan yang luar biasa, di kemudian hari Kuyper memetik segala jerih payahnya, seperti yang dikatakan oleh firman Tuhan: “… dan giatlah selalu dalam pekerjaan Tuhan! Sebab kamu tahu, bahwa dalam persekutuan dengan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.” I Kor. 15:58.
Terlalu sedikit orang Kristen yang dapat melihat visi besar ini. Walaupun demikian kekristenan harus bangkit, meskipun kekuatannya kecil, tetapi jika disertai oleh kekuatan Allah, maka gerakan kemuliaan Tuhan ini dapat dimulai. Saya berharap, melalui tulisan ini, visi ini menggugah kita untuk bangkit bagi Kristus dan kerajaan-Nya, bersama-sama turun di dalam peperangan rohani yang suci ini.

1. RIWAYAT SINGKAT KUYPER

Abraham Kuyper lahir di Maassluis, sebuah kota di pinggir pantai, Belanda pada tanggal 29 Oktober 1837. Dia adalah anak dari Pdt. Jan Hendrik Kuyper dan Henriette Huber Kuyper. Ayahnya melayani sebagai pendeta pada Gereja Negara Belanda di Maassluis yang diawalinya pada akhir Sepetember 1834. Pelayanan Hendrik Kuyper di Maassluis hanya sekitar tiga setengah tahun dan setelah itu berpindah ke Middelburg yang juga ternyata dekat laut.
Sejak kecil Kuyper sudah kelihatan akrab dengan buku. Sebelum cukup umur ia sudah membaca koran, tetapi bapaknya melihat itu sebagai hal yang kurang pantas, maka dia melarang serta menyarankannya untuk membaca buku-buku yang harus dibaca oleh anak seusianya. Membaca dan terus membaca, merupakan kesenangan Kuyper.
Di Middleburg, Kuyper kecil pada suatu hari memberanikan diri untuk naik ke sebuah kapal dan bertemu dengan para pelaut, serta membombandir mereka dengan bermacam-macam pertanyaan. Akibat pertemuannya dengan para pelaut tersebut, Kuyper yang masih kecil mulai membicarakan pelayaran, dan bermimpi untuk berlayar serta ingin mengikuti sekolah pelayaran untuk belajar tentang navigasi.
Hal yang menarik dari masa kecil Kuyper adalah ketika dia mulai sekolah. Guru yang mengajarnya berkata bahwa Kuyper adalah anak yang dungu. Tetapi hal itu tidak terbukti karena pada umur 12 tahun Kuyper masuk gymnasium di Middleburg. Setelah lulus ia masuk ke Universitas Leyden.
Di dalam belajar, Kuyper bekerja keras dan berkonsentrasi kepada apa yang dipelajarinya secara efektif. Dia melakukan segala sesuatu dengan cara yang sangat teratur. Jika esok harinya dia tidak mempunyai kelas pagi, maka malam harinya dia bangun pada jam sepuluh lewat tiga puluh menit dan terus belajar sampai jam dua pagi.
Pada bulan April tahun 1858, Abraham Kuyper menyelesaikan seluruh tuntutan kurikulum pra-teologi sebagai mahasiswa magna cum laude dan summa cum laude. Lalu pada tanggal 24 November 1858, Kuyper yang saat itu berumur 21 tahun masuk kembali ke Leyden University divinity school dan mengambil gelar doktor di bidang sacred theology (Teologi Suci). Dia lulus tahun 1863 pada umur 26 tahun.
Sejak itu dia mulai masuk ke dalam ladang pelayanan, dan tempat pelayanan pertamanya adalah di kota kecil Beesd dari tahun 1863-1868. Di Beesd inilah Kuyper bergabung dengan gerakan politik Kristen yang dipimpin oleh Mr. G. Groen van Prinsterer, seorang murid dari Bilderdijk. Di tahun 1863 juga, sebagai tahun awal pelayanannya, dia menikahi Johanna Hendrika Schaay, seorang gadis dari Rotterdam, yang lebih muda empat tahun darinya. Dari pernikahan ini, lima orang anak laki-laki, salah satunya meninggal tahun 1892 pada usia sembilan tahun, dan tiga orang anak perempuan, lahir bagi mereka. Isterinya meninggal pada tahun 1899 pada usia 58 tahun. Kuyper tidak pernah menikah lagi. Tidak lama setelah kematian istrinya ia menulis seri renungan pada De Heraut yang berjudul “Asleep in Jesus.”
Setelah itu dia berpindah ke Utrecht dan melayani di sana selama tahun 1868-1874. Utrecht bagi Kuyper menjadi semacam sebuah kota Zion Allah. Di sana dia bisa bertemu dengan pemimpin-pemimpin ortodoks Gereja Negara Belanda, karena kota itu adalah kota yang memiliki reputasi yang kuat sebagai benteng ortodoksi. Di sana juga ada sekolah apologetika dari Doedes dan Van Oorterzee. Kedua orang ini adalah profesor dari Utrecht Univercity divinity school, yang terhitung sebagai benteng orodoks yang terkemuka.
Di Utrecht, gerakan sekolah Kristen Calvinis mengadakan pertemuan pada tanggal 19 dan 20 Mei 1869. Mr. Guillaume Groen van Prinsterer yang adalah sejarawan Kristen, wartawan, negarawan, pemimpin politik dan pemuka masyarakat yang dihormati, berangkat dari Hague ke Utrecht untuk mengikuti konvensi tersebut. Pada saat itu umurnya sudah 68 tahun dan kesehatannya sudah menurun. Sebagai seorang pemimpin gerakan Calvinis, pengikutnya hanya sedikit, dan hasil dari pada apa yang dia tabur dengan kerja keras selama bertahun-tahun sangat kecil.
Di dalam pertemuan pembukaan di Cathedral Church pada sore hari tanggal 18 itu, Kuyper menjadi pembicara. Saat itu berbinar-binarlah mata Prinsterer serta bangkitlah jiwanya mendengar kalimat pembuka Kuyper yang berbunyi: “Di antara orang-orang kita, keyakinan adalah dasar keuntungan yang nyata dan bahwa kekuatan dari gerakan kita terletak pada seruan terhadap hati nurani rakyat kita.” Kalimat ini merupakan gema yang Groen van Prinsterer teriakkan selama bertahun-tahun. Setelah konvensi tersebut Groen kembali ke rumahnya dengan hati bersyukur dan sukacita. Beberapa bulan kemudian yakni pada tanggal 1 Sepetember, Groen di dalam tulisan publiknya, menunjuk Kuyper sebagai pemimpin masa depan dari partai politik Anti Revolusi, yang saat itu sedang dipimpinnya.
Pelayanan Gereja Kuyper berikutnya adalah di Amsterdam tahun 1870-1874. Gereja Amsterdam adalah Gereja yang besar dan sangat kaya dengan total anggotanya saat itu sekitar 140.000 orang. Kira-kira tahun 1867, jemaat liberal telah mendominasi konsistori. Itu sebabnya reformasi Gereja Dr. Kuyper berawal dari Amsterdam.
Pada tahun 1872 Kuyper mendirikan dan menjadi editor kepala harian De Standaard (The Standard) yang menjadi kendaraannya untuk menyuarakan ide dan semangat politiknya. Tidak lama kemudian, ia juga mendirikan dan menjadi editor De Heraut (The Herald) sebuah Koran mingguan Kristen. Selama 45 tahun dia menempati kedua posisi ini dengan kekuatan, kerja keras dan keteguhan yang luar biasa.
Lawan-lawan politiknya membaca dan menakuti De Standaard. Kuyper di dalam tulisannya, tidak hanya mengambil posisi seorang apologet, karena dia bukan hanya mempertahankan diri dari lawan-lawannya, tetapi juga menghantam balik, bahkan dia sering memukul lawan lebih dahulu. Lawan-lawannya tahu bahwa di belakang De Standaard, berdiri Kuyper, sebuah kekuatan yang agresif dari Partai Anti Revolusi.
Sebuah pesta diadakan bagi Kuyper dan De Standaard pada tahun 1897. Saat itu dia genap 25 tahun menjadi editor De Standaard. Pesta itu adalah sebuah perayaan untuk mengucap syukur kepada Tuhan dan memberikan penghargaan baik untuk De Standaard maupun untuk Kuyper. Dr. Herman Bavinck, profesor teologi sistimatika dari seminari Kampen memberikan pidato ucapan selamat. Pada tahun itu juga diterbitkan sebuah buku peringatan (memorial) untuk Kuyper. Penulisnya adalah rekan-rekan jurnalisnya. Buku itu bersifat memberikan penjelasan, evaluasi dan penghargaan. Seorang jurnalis Katholik terkemuka, Dr. Schaepman mengatakan: “Kuyper adalah jurnalis terbesar kita.” Tahun 1874 Kuyper menjadi anggota parlemen (Lower House) sampai pada tahun 1877. Setelah negarawan Groen van Prinsterer meninggal tahun 1876, Kuyper menjadi pemimpin dari gerakan Calvinis yang walaupun kecil, tetapi bertumbuh, baik di dalam Gereja maupun di dalam negara.
Di dalam hati Kuyper ada satu beban untuk mendirikan sebuah universitas yang Calvinis dan bebas, sehingga tahun 1880 ia mendirikan Free University (Frije Universiteit-Universitas Bebas) di Amsterdam. Universitas ini dijadikan sebagai benteng teologi Reformed (Calvinisme) di dalam mempertahankan ortodoksi dari serangan liberalisme dan modernisme.
Saat itu Belanda memiliki tiga universitas nasional milik negara yaitu Universitas Leiden, Universitas Groningen dan Universitas Utrecht. Tetapi orang-orang moderen, rasionalis dan humanis berkuasa di ketiga universitas ini. Mereka memonopoli pendidikan tinggi selama tahun-tahun yang panjang. Di Universitas Leiden, ada tiga ahli teologi liberal yang paling besar dan terkenal. Yang pertama Dr. L.W. Rauwenhoff yang datang pada tahun 1860 sebagai profesor sejarah Gereja. Yang kedua adalah Dr. Abraham Kuenen, seorang murid dari Scholten, lulus dari Leiden tahun 1851 dan menerima jabatan profesor pada tahun 1853. Yang paling besar di antara mereka adalah Dr. Joannes Henricus Scholten yang mempengaruhi murid-muridnya untuk menjadi liberal. Pada awalnya Kuyper juga mendapat pengaruh liberal dari Scholten. Karena itu, walaupun mendapat banyak tantangan dan kritikan, Kuyper tetap mendirikan Free University. Tahun 1886 Kuyper dan teman-temannya seperti Rutgers, Lohman, Keuchenius, juga pada awalnya Hoedemaker masuk di dalam golongan ini, mengadakan reformasi Gereja di dalam Gereja Hervormd. Gerakan ini akhirnya melahirkan Gereformeerde Kerken in Nederland.
Tahun 1898 Kuyper diundang oleh Princenton Theological Seminary, karena seminari tersebut ingin memberikan gelar doktor penghargaan –honoris causa- dibidang hukum kepadanya. Maka dia meninggalkan Belanda dan tinggal beberapa bulan di Amerika. Untuk itu dia diminta untuk menyampaikan satu seri kuliah yang temanya dia pilih sendiri. Pada kesempatan tersebut, Kuyper memberikan lima ceramah mengenai Calvinisme, masing-masing, Calvinisme Sebagai Sistim Hidup, Calvinisme dan Agama, Calvinisme dan Politik, Calvinisme dan Ilmu Pengetahuan, Calvinisme dan Seni serta Calvinisme dan Masa Depan. Kelima bahan ceramah tersebut diterbitkan oleh penerbit Eerdmans dengan judul Lectures on Calvinism. Biasa disebut sebagai Stone Lectures, karena kuliah tersebut dilaksanakan atas bantuan L.P. Stone Foundation. Setelah kembali dari Amerika, dia menjadi ketua partai Anti Revolusi (Anti-Revolutionary Party) hingga tahun 1901. Setelah partai Anti Revolusi dan koalisinya menang, maka ratu Wilhelmina mengundang Kuyper untuk menjadi perdana menteri dan membentuk kabinet. Masa jabatan Kuyper sebagai perdana menteri adalah empat tahun, yang dimulai pada tahun 1901 sampai dengan tahun 1905.
Kuyper yang bekerja dengan sangat keras setiap hari, kadang-kadang baru tidur pada jam 4 pagi, meninggal pada 8 November 1920. Dia adalah seorang murid, pendeta, pengkhotbah, ahli bahasa, teolog, profesor universitas, ketua partai politik, organisatoris, negarawan, filsuf, penulis buku, kritikus dan dermawan.
Pandangan yang mengatakan bahwa teologi yang dalam adalah kering dan kurang hangat tidak terbukti di dalam diri Kuyper. Dia menulis buku renungan hangat yang berjudul To Be Near Unto God. Dengarkanlah kata-kata yang menggugah ini dari To Be Near Unto God: “Memiliki cinta kepada Allah adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dan sesuatu yang jauh lebih lemah dari pada mengatakan: ‘Aku mencintai Tuhan.’ ” Bagi Kuyper kita bisa memiliki cinta terhadap negara kita, alam yang indah bahkan Tuhan, tetapi belum tentu bisa mengungkapkan dengan kerinduan yang hebat: “Aku mencintai Tuhan.
Kuyper juga sangat peduli dengan masalah-masalah sosial. Pidatonya tentang masalah sosial dipublikasikan pada tahun 1891 dengan judul Het Sociale Vraagstuk en Christelijke Religie (Problema Sosial dan Agama Kristen). Dalam pidato tersebut Kuyper berkata bahwa kehadiran Kristus dalam dunia, pemberitaan firman yang Ia sampaikan, dan kematian yang Ia alami bagi umat manusia sudah cukup kuat dari dirinya sendiri untuk memberikan pengaruh yang baik bagi masalah sosial.
Jelas terlihat bahwa tidak ada satu bidangpun yang asing bagi Kuyper. Dia merambah segala aspek kehidupan dan membawa firman serta memproklamasikan bahwa Kristuslah Raja atas bidang tersebut.
Tokoh besar yang mempengaruhi Kuyper adalah Groen van Prinsterer seperti yang sudah disebutkan di atas, pendiri partai Anti Revolusi. Van Prinsterer bukanlah seseorang yang mempunyai kekuatan untuk menarik dan menggalang massa, tetapi dia adalah pemimpin yang kuat di parlemen dan berpengaruh kepada orang-orang di kalangan atas. Ada yang menyebutnya sebagai Jenderal yang tidak memiliki pasukan. Kuyper sendiri kemudian bersama Herman Bavinck menjadi pengaruh yang terbesar bagi pembentukan teologi Louis Berkhof, seorang teolog Reformed Belanda di Amerika yang menjadi penulis Sytematic Theology, yang isinya merangkum seluruh pikiran-pikiran Teologi Reformed Ortodoks yang paling penting.
Apa kunci dari kerja keras Kuyper dan semangat yang terus berkobar-kobar untuk melayani Tuhan di dalam seluruh aspek hidupnya? Pengalaman pertobatannya dari posisi semi ortodoks dan semi liberal menjadi Reformed ortodoks murni sangat mungkin mempunyai pengaruh besar terhadap kekuatan Kuyper yang sedemikian hebat. Ada tiga pengalaman besar Kuyper yang patut disebut di sini.
Pengalaman pertamanya adalah ketika Universitas Groningen mengadakan perlombaan menulis essay terbaik mengenai John a Lasco. Atas anjuran Dr. De Vries profesor di Leyden, Kuyper mengikuti kontes tersebut. Namun bahan-bahan tentang a Lasco sulit ditemukan, bahkan Kuyper sudah mengelilingi perpustakaan terkenal di seluruh Eropa. Atas anjuran Dr. De Vries, maka Kuyper pergi mengunjungi ayah De Vries di Harlem, karena di sana ada perpustakaan pribadi ayahnya. Tetapi ayah Dr. De Vries berkata bahwa Kuyper harus datang kembali seminggu kemudian, karena dia harus mencarinya dahulu di perpustakaannya. Seminggu kemudian dia datang lagi, dan melihat bagaimana ayah De Vries membeberkan di hadapannya hasil pencariannya. Dia mendapatkan bahan-bahan yang penting tentang a Lasco, yang tidak ditemui di tempat lain. Akhirnya Kuyper mengikuti kontes tersebut dan hasilnya dia menjadi juara pertama. Bagi Kuyper pengalaman penemuan bahan-bahan tentang a Lasco ini adalah mujisat. Hal ini mulai menguncangkan pengaruh liberal di dalam dirinya yang tidak mempercayai mujisat.
Pengalaman kedua adalah ketika dia membaca novel The Heir of Radclyffe yang ditulis oleh Charlott M. Yonge (1853). Novel ini menceritakan pertemuan karakter dua tokoh utamanya yaitu Philip de Morville dan Guy. Philip adalah seorang yang cerdas, pembicara yang brilian dan dapat masuk ke dalam segala lingkaran dengan mudah. Dia tidak mudah terpengaruh secara emosi dan merasa bahwa oleh kekuatan kehendaknya tidak ada hal yang mustahil. Guy sangat berbeda dari Philip, ia lembut, perasa, simpatik, suka mendahulukan orang lain dan memiliki iman yang sangat kuat. Tetapi dia memiliki fisik yang tidak terlalu kuat. Di dalam cerita tersebut, karakter Philip mengungguli Guy. Bisa dibayangkan bahwa Kuyper yang masih muda dan penuh ambisi, menjadikan Philip sebagai hero-nya. Karakter Philip menarik, menawan dan membuatnya kagum.
Ketika kedua karakter ini bertemu kembali di Italia, Guy sedang menuju ke Venice dan mendengar bahwa seorang Inggris bernama Morville sedang sakit di Recoara. Di dalam pertemuan ini, Guy di hadapan Philip yang lemah menunjukkan kebesaran jiwanya. Setelah Philip sembuh, Guy sendiri akhirnya juga sakit yang pada akhirnya membawanya kepada kematian. Menjadi sangat jelas di sini akan kemiskinan kerohanian Philip, sedangkan Guy menunjukkan kebesaran dan kekuatan rohaninya. Tanpa disadari oleh Kuyper cerita ini telah memikatnya.
Ketika tiba waktunya untuk menjalankan komuni suci untuk Guy, Philip tidak berani masuk karena merasa tidak layak. Dan ketika seseorang wanita terhormat membisikkan kalimat Firman Tuhan ini kepada dia: “Hati yang patah dan remuk tidak Kau pandang hina, ya Allah,” Philip bangkit dengan gemetar dari kepala sampai kaki dan mengikuti wanita tersebut ke dalam kamar Guy. Bersamaan dengan keruntuhan Philip, Kuyperpun juga runtuh dan mengatakan hal ini, “Saya memandang rendah apa yang dahulu saya hargai dan sekarang saya mencari apa yang dahulu saya berani hina. Novel ini sangat mempengaruhi Kuyper dan berperan penting di dalam pertobatannya.
Pengalaman ketiga adalah pengalaman di tempat pelayanan pertamanya di Beesd yaitu dengan jemaat Gereja yang kecil. Jemaat di Beesd adalah jemaat yang ortodoks. Pengaruh jemaat Reformed Beesd, juga ikut membawa dia dari posisi semi ortodoks dan semi liberal kepada ortodoks Reformed yang murni. Terutama pertemuannya dengan seorang wanita yang tidak menikah yaitu Pietronella Baltus, di mana Kuyper kerap bercakap-cakap dengannya. Wanita ini yang akhirnya secara agama dan teologi membawanya ke puncak pertobatan.
Di dalam ulang tahun yang ke 25 sebagai editor De Standaard, Kuyper berkata:

“One desire has been the rulling passion of my life. One high motive has acted like a spur upon my mind and soul. And sooner than that I should seek escape from the sacred necessity that is laid upon me, let the breath of life fail me. It is this: That in spite of all worldly opposition, God’s holy ordinances shall be established again in the home, in the school and in the state for the good of the people; to carve as it were into the conscience of the nation the ordinances of the Lord, to wich the Bible and Creation bear witness, until the nation pays homage again to God.”


Terjemahan bebas:
“Satu hasrat telah menjadi gairah yang memerintah hidupku. Satu motivati yang besar telah bertindak memacu pikiran dan jiwaku. Dan jika saya melarikan diri dari kewajiban yang suci tersebut yang dibebankan kepadaku, biarlah nafas hidup meninggalkan saya. Adalah ini: Bahwa walaupun ada perlawanan dunia, peraturan-peraturan suci Allah akan ditegakkan kembali di dalam rumah, di dalam sekolah dan di dalam negara untuk kebaikan masyarakat; seolah-olah mengukir hal itu kembali di dalam hati nurani bangsa peraturan-peraturan Allah, yang olehnya Alkitab dan Ciptaan saksikan, sampai bangsa ini memberikan hormat kembali kepada Allah.”
Kalimat ini benar-benar dihidupi oleh Kuyper sampai dia mati. Dia benar-benar bekerja keras di segala bidang demi bangkitnya lagi rasa takut serta hormat akan Allah di segala bidang dalam masyarakat Belanda.
H. Berkhof, penulis buku Sejarah Gereja menulis sebagai berikut: “Demikianlah Kuyper berpengaruh besar dan baik di masyarakat Belanda, yang telah hanyut di dalam liberalisme. Di segala lapangan hidup kedengaranlah suaranya yang menggembirakan, sehingga di mana-mana semangat Calvinis berkobar lagi.” Selanjutnya dia mengatakan bahwa, “Kuyper adalah pemimpin yang amat cakap dan kuat pendiriannya. Dengan tenaga yang sangat besar ia mengembangkan pandangan-pandangannya di Belanda; ia banyak berusaha di lapangan Gereja, politik, sosial, persuratkabaran dan ilmu, sehingga pengaruhnya terasa di mana-mana.” Berkhof juga memberikan perbandingan karakter antara Kuyper dan Hoedemaker rekan seperjuangannya. Mengenai Hoedemaker dia berkata, “Seperti seorang nabi, ia mengerahkan segenap rakyat Kristen Belanda untuk bertobat dan takluk kepada Raja Kristus, tetapi oleh sebab pribadinya yang kurang kuat, pengaruhnya hanya sedikit.” Tetapi tentang Kuyper dia berkata, “Sebaliknya, Kuyper sebagai pahlawan yang gagah di lapangan Gereja, politik dan masyarakat, dapat menggembirakan beribu-ribu orang.” Frank Vanden Berg, penulis biografi Kuyper mengatakan bahwa Dr. Kuyper adalah seorang Calvinis. Dia bisa disebut sebagai seorang Calvinis Belanda yang terbesar dan Seorang Calvinis yang terbesar setelah Calvin.
Beberapa buku Kuyper yang penting yaitu: Encyclopedia of Sacred Theology: Its Princples (1898), Calvinism, (Lecture on Calvinism) (1899)), His Decease (1928), A Sleep in Jesus (1929), The Revelation of John (1935) yang menjadi tambahan Encylopedia of Sacred Theology.




2. REFORMASI GEREJA

Melalui ketetapan kerajaan pada tanggal 7 Januari 1816, raja William I mengubah Gereja Protestan Belanda menjadi sebuah Gereja Negara secara penuh. Gereja ini kemudian disebut sebagai “de Hervormde Kerk,” (Gereja Hervormd). Kata Hervormd tidak memiliki padanan kata di dalam bahasa Inggris. Kita tidak bisa menyebutnya Reformed. Walaupun secara teori Gereja ini memegang pengakuan Reformed yang standar, tetapi pada prakteknya Gereja ini telah terpisah jauh dari standar-standar Reformed dan lama kelamaan menjadi Liberal.
Gereja ini menjadi sarang rasionalisme. Liberalisme sudah menulari sekolah teologi, mimbar-mimbar Gereja, kelas-kelas, konsistori-konsistori, sinode dan bangku-bangku Gereja. Maka reaksi mulai muncul dan akhirnya menghasilkan pemisahan. Pemisahan (Afscheiding-Belanda) yang pertama dilakukan oleh Hendrik de Cock (1801-1842). Dia adalah pendeta jemaat di Ulrum, Groningen. Pemisahan ini terjadi pada tanggal 13 Oktober 1834. Dari pemisahan ini, lahirlah Christelijke Gereformeerde Kerk. Walaupun demikian, semangat Liberal semakin berkembang terutama di kalangan pendeta-pendeta muda. Salah seorang yang melihat bahaya ini adalah negarawan Groen van Prinsterer. Dia dengan gigih berjuang untuk mempertahankan ortodoksi Reformed. Awalnya dia berusaha memperbaiki segenap Gereja dengan jalan yang sah, tetapi karena merasa tidak ada hasilnya, kemudian ia mendesak jemaat untuk melawan badan-badan pengurus. Dia melepaskan cita-cita teokrasi, dan menginginkan Gereja bebas di dalam negara yang bebas. Prinsip ini kemudian diambil alih oleh Kuyper.
Tahun 1883, Kuyper mempublikasikan sebuah risalah sebanyak 204 halaman yang berjudul The Reformation of the Churces, yang terdiri dari 4 bagian yaitu: 1) Prinsip-prinsip umum. 2) Mengenai formasi yang benar dari Gereja. 3) Mengenai deformasi (perusakan bentuk aslinya) Gereja. 4) Mengenai reformasi Gereja. Walaupun buku ini ditulis dengan gaya populer, tetapi luas dan dalam. Kita boleh mengatakan buku ini sebagai buku pedoman reformasi Gereja dari Dr. Kuyper. Banyak orang yang membaca buku ini, sehingga setelah membacanya mereka sekarang mengerti bukan hanya mengapa dan ke mana reformasi Gereja, tetapi juga mengenai bagaimana reformasi itu.
Pergolakan mulai terjadi di Gereja Amsterdam yang saat itu sudah memiliki 165.000 anggota. Bentrokan itu terjadi pada tahun 1885. Permasalahannya adalah, majelis-majelis yang ortodoks tidak menerima murid-murid pendeta modern untuk disidi. Lalu murid-murid tersebut meminta surat kelakuan baik dari majelis tersebut agar mereka bisa sidi di jemaat yang lain yang modern, tetapi majelis tidak memberikan surat. Kemudian atas desakan Kuyper dan temannya Rutgers, majelis Gereja Amsterdam segera memutuskan untuk mengubah beberapa pasal dalam hal peraturan kepemilikan Gereja, agar harta milik Gereja tetap berada di tangan Kuyper dan rekan-rekan jika terjadi pertikaian antara majelis dengan badan pengurus yang lebih tinggi. Karena peraturan itu bertentangan dengan peraturan umum Gereja maka badan pengurus klasis Amsterdam pada tanggal 4 Januari 1886 memberhentikan 5 pendeta, 42 penatua dan 33 syamas, yang menyetujui perubahan peraturan mengenai kepemilikan Gereja tersebut. Dengan demikian gagallah maksud Kuyper. Akhirnya terjadilah perpecahan Gereja. Pada bulan Januari 1887 diadakan kongres Gereformeerd di Amsterdam sehingga terbentuklah “Dolerende Kerken” Dolerend (dolere-Latin artinya berduka-cita). Mereka berdukacita karena milik Gereja tidak diserahkan kepada mereka. Sesudah kongres, Gereja tersebut berkembang dengan cepat. Lebih dari pada 50 pendeta dan ribuan anggota jemaat keluar dari Gereja Hervormd dan bergabung dengan gereja Kuyper. Sebenarnya maksud Kuyper adalah supaya seluruh jemaat Gereja Negara Belanda (Gereja Hervormd) memberontak dan membebaskan dirinya dari kuk sinode yang sudah Liberal. Tetapi harapan Kuyper tidak tercapai dan peristiwa ini menjadi pemisahan (afscheiding) yang kedua. Pada tahun 1892 kaum doleansi/Dolerende Kerken golongan Kuyper dan Christelijke Gereformeerde Kerk golongan Hendrik de Cock, bergabung menjadi Gereformeerde Kerken in Nederland (GKN), setelah kedua belah pihak masing-masing harus melepaskan pendirian bahwa pihaknyalah yang merupakan generasi penerus dari Gereja Reformed Belanda. Sebagian dari Christelijke Gereformeerde Kerk yang tidak ikut bergabung tetap berdiri sebagai Gereja tersendiri.

3. KEUNIKAN PIKIRAN KUYPER

Ada beberapa keunikan pikiran Kuyper. Calvinisme Kuyper biasa disebut sebagai Neo-Calvinisme atau Calvinisme baru. De Jonge mengatakan bahwa, gerakan Neo-Calvinisme sama seperti Neo-Lutheranisme di Gereja-Gereja Lutheran, bersifat konvensional, dalam arti mempertahankan pengakuan, tetapi berusaha juga untuk memperhatikan kebutuhan zaman moderen. Tujuannya adalah menciptakan suatu Calvinisme yang baru, yang sesuai dengan zaman. Neo-Calvinisme dipelopori oleh Abraham Kuyper, yang mau memberi kepada manusia moderen suatu alternatif untuk pencerahan, yang diambil dari teologi Calvin dan Calvinisme yang dahulu. Neo-Calvinisme bersifat dogmatis, dengan penekanan, umpamanya, pada ajaran predestinasi dalam bentuk yang paling ketat (supralapsarian). Akan tetapi Neo-Calvinisme sekaligus terbuka terhadap kebudayaan modern, sehingga antara lain diterima pemisahan antara Gereja dan negara dan kebebasan beragama. Selanjutnya dia mencatat dua keunikan dari neo-Calvinisme kuyper, yaitu konsepnya tentang Gereja dan anugerah umum - common grace.

a. Anugerah Umum
Pengembangannya terhadap Konsep anugerah umum ini merupakan hal yang paling diingat tentang Kuyper. Konsep ini sebenarnya sudah diajarkan oleh Calvin, bahkan dia berpendapat bahwa anugerah umum kadang-kadang diterima oleh orang-orang yang tidak percaya dengan lebih limpah dari pada orang-orang percaya.
Cornelius Van Til di dalam New 20th-Century Encyclopedia of Religious Knowledge, menulis bahwa ide tentang common grace dikembangkan oleh Kuyper sebagai sebuah bagian dari filsafat Calvinis tentang sejarah dan kebudayaan. Kuyper berkata bahwa common grace mempresaposisikan kerusakan total manusia. Jika special grace melahirbarukan hati manusia, maka common grace menahan proses dosa dalam umat manusia dan memampukan manusia secara positif mengembangkan kekuatan laten alam semesta dan melakukan pekerjaan “kebenaran yang umum” (civic righteousness).
Berkhof menulis di dalam Sytematic Teology bahwa yang menjadi alat anugerah umum Tuhan adalah:
1. Wahyu umum, di mana wahyu umum tersebut menjadi buah dari pada anugerah umum. Tetapi anugerah umum juga bekerja dalam pengertian yang terbatas di dalam terang wahyu khusus.
2. Pemerintahan. Pemerintah juga menjadi sarana anugerah umum, di mana pemerintah mendapat tugas dari Allah untuk mengatur masyarakat dengan baik.
3. Pendapat umum, hal ini menjadi sarana anugerah Allah jika dibentuk di bawah pengaruh wahyu Allah.
4. Hukuman dan penghargaan Ilahi, melalui providensinya Tuhan Allah sendiri memberikan upah kepada yang baik dan penghukuman kepada yang jahat di dalam hidup sekarang ini.
Bavinck berkata bahwa anugerah umum menjadikan orang Kristen tidak anti terhadap hal-hal yang agung, indah dan mulia yang terdapat di dalam dunia ini. Misalnya, filsafat yang baik, seni dan arsitektur. Konsep ini juga menjauhkan orang Kristen dari dikotomi yang picik dari kalangan Injili mengenai hal yang rohani dan sekuler.
Konsep Reformed tentang anugerah umum dan wahyu umum inilah yang kelihatannya menjadi salah satu faktor pendorong Kuyper untuk terjun di segala bidang kehidupan demi mempermuliakan Kristus di segenap aspeknya. Kalimat Kuyper yang terkenal adalah bahwa Kristus harus memerintah di segenap bidang kehidupan, di mana tidak ada satupun bidang kehidupan yang Kristus tidak berkata ini adalah milikku.


b. Gereja
Kuyper dan rekannya Hoedemaker berselisih paham dalam hal konsep Gereja. Kuyper menginginkan sebuah gereja yang bebas di dalam Negara yang bebas. Semboyannya adalah free Church in the free State. Tetapi oleh Hoedemaker, hal ini dipandang sebagai menyimpang dari cita-cita Gereja Calvin yaitu Gereja Negara.
Calvin berkata bahwa gereja harus dipisah dari negara. Kuasa negara adalah kuasa keadilan, sedangkan kuasa Gereja adalah kuasa kasih. Gereja dan negara memiliki tugas, tanggung jawab dan wewenang yang berbeda. Gereja memerintah dengan kuasa rohani yaitu kasih, karena paksaan bertentangan dengan kasih Kristen. Sedangkan negara memerintah dengan kuasa dan paksaan, bahkan kalau perlu dengan menggunakan pedang. Tetapi karena Gereja mengurus perkara-perkara rohani dan moral, maka negara wajib mengasuh, merawat dan melindungi gereja. Jikalau ada yang mengajarkan ajaran sesat di dalam gereja, maka negaralah yang harus menghukum kebidatan tersebut. Kasus Michael Servet adalah contohnya. Oleh karena kebidatannya dalam doktrin Tritunggal, maka dia dibakar hidup-hidup oleh pemerintah kota Jenewa atas seijin Calvin.
Hoedemaker lebih menginginkan Reformasi bagi segenap Gereja. Semboyannya adalah: “Segenap Gereja segenap rakyat.” Dia melihat bahwa pemisahan Kuyper dan teman-temannya dari Gereja Hervormd sepertinya menuju kepada kebidatan. Dia berkata bahwa reformasi Gereja harus mendatangkan faedah bagi segala orang yang terhisab ke dalam perjanjian Allah. Hoedemaker benar-benar menghendaki keselamatan seluruh Gereja Belanda. Karena itu menjelang kongres Gereformeerd dia menarik diri dan juga melepaskan jabatan guru besarnya di Free University. Dia kembali lagi menjadi pendeta Gereja Hervormd.
Kuyper menyimpang dari cita-cita Calvin ini, dan lebih menginginkan sebuah Gereja yang terdiri dari orang-orang lahir baru, pengaku Kristus yang sejati serta pengaku pengakuan iman yang benar. Biarlah pengaku-pengaku sejati tersebut membentuk gereja dengan kebudayaan Calvinisnya sendiri, di dalam suatu negara yang bersifat bebas. Karena menyimpang dari konsep Gereja Calvin, maka aliran Kuyper disebut juga sebagai Neo-Calvinisme. Mengenai hal ini, dalam dunia sekarang, pandangan Kuyper jauh lebih baik dari Calvin, karena Negara maupun Gereja memiliki kedaulatan tersendiri, dan tidak boleh saling campur. Hal yang berikut adalah bahwa konsep Kuyper jauh lebih cocok diterapkan di sebuah Negara yang bebas atau di dalam Negara Pancasila seperti Indonesia. Adalah mustahil saat ini untuk menemukan sebuah Negara Kristen yang bersifat teokratis di mana prinsip Gereja-Negara Calvin bisa diterapkan.
Pandangan Kuyper juga memiliki kelemahan seperti yang dikatakan oleh H. Berkhof, yaitu bahwa dia melihat Gereja dari sisi subyektif yaitu Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang sudah lahir baru. Gereja, seperti dikatakan oleh Calvin seharusnya di lihat dari aspek obyektifnya yaitu Kristus yang menguduskan gereja-Nya, dan bukan karena kekudusan jemaat. Sebuah Gereja disebut Gereja jika ada pemberitaan Firman dengan layak, pelaksanaan sakramen dengan benar serta adanya disiplin Gereja. Gereja tersebut layak untuk disebut Gereja, tidak perduli di dalamnya terdiri dari orang-orang yang sudah lahir baru atau belum. Demikian pemahaman Calvin. Hal ini lebih konsisten dengan perumpamaan Tuhan Yesus mengenai lalang dan gandum di dalam Matius 13:24-30.

c. Politik
Dalam Lectures on Calvinism, Kuyper mengatakan bahwa prinsip utama konsep politik Calvinis adalah bukan di dalam pengertian soteriologi, pembenaran oleh iman, tetapi di dalam pengertian yang paling luas yaitu kosmologi. Hal ini berkaitan dengan kedaulatan Allah Tritunggal atas seluruh alam semesta, di dalam segala wilayah dan kerajaan baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan.
Ada 3 kedaulatan asli (primordial) di dalam dunia yaitu: 1) Kedaulatan di dalam negara. 2) Kedaulatan di dalam masyarakat. 3) Kedaulatan di dalam Gereja. Oleh karena itu, ketiga macam kedaulatan tersebut tidak boleh saling campur. Negara harus memberikan keleluasaan bagi civil society dan Gereja untuk mengatur kehidupannya sendiri. Kita bisa meringkaskan cita-cita Kuyper demikian, free state, free society and free church, (negara yang bebas, masyarakat yang bebas dan Gereja yang bebas).
Mengenai Negara, Kuyper berkata bahwa manusia diciptakan dari manusia, dan melalui kelahirannya manusia memiliki kesatuan organis dengan seluruh ras. Bersama-sama kita membentuk umat manusia, bukan hanya dengan yang hidup sekarang, tetapi juga dengan yang sudah hidup di masa lampau dan yang akan datang. Semua ras manusia berasal dari darah yang sama. Mestinya kalau tidak ada dosa bukan mustahil seluruh ras manusia hanya menjadi satu negara yang bersifat monarkhi yang diperintah oleh Allah sendiri secara teokrasi.
Tetapi dosa telah memisahkan kesatuan umat manusia. Seharusnya, tanpa dosa tidak satupun yang dapat memecahkan kesatuan organis dari umat manusia. Kesalahan Aleksander, Augustus dan Napoleon bukanlah pada ketertarikan mereka akan satu kerajaan dunia (one world-empire), tetapi kesalahan mereka adalah karena tidak memiliki kesadaran bahwa dosa telah memisahkan kesatuan umat manusia. Tanpa dosa, tidak perlu ada pemerintah atau tatanan negara, tetapi yang ada hanyalah kehidupan secara politik, yang di dalam keseluruhannya, akan menyusun dirinya secara patriakhal melalui kehidupan keluarga. Di dalam dunia tanpa dosa, kehidupan berkembang dengan sendirinya secara normal tanpa rintangan dan muncul dari dalam dorongan organiknya sendiri.
Dalam pemahaman Calvinisme, oleh karena dosalah, maka Allah telah membentuk orang-orang yang memerintah. Jadi negara ada karena alasan dosa. Kehidupan negara bagi Kuyper ada sisi terang dan sisi gelapnya. Sisi gelapnya adalah bahwa ada begitu banyak negara yang seharusnya tidak perlu ada. Sifat pemerintahannya adalah mekanik dan tidak sesuai dengan natur kita. Otoritas pemerintahan yang seperti ini dijalankan oleh orang-orang berdosa, sehingga cenderung mengarah kepada ambisi-ambisi yang lalim. Walaupun demikian, ada sisi terangnya, yaitu bagi orang berdosa, tanpa negara-negara, tanpa hukum dan pemerintahan, dan tanpa otoritas yang berkuasa, dunia akan menjadi neraka.
Kuyper juga mengungkapkan sebuah pengakuan politik yang diringkasnya dalam tiga poin:
1. Hanya Allah - dan tidak pernah ciptaan apapun - memiliki hak-hak kedaulatan, di dalam penetapan bangsa-bangsa, karena Allah sendiri yang telah menciptakan mereka, memelihara mereka dengan kuasa-Nya yang besar dan memerintah mereka dengan peraturan-peraturan-Nya.
2. Dosa telah, di dalam bidang politik, menghancurkan pemerintahan Allah yang langsung, dan karena itu pelaksanaan otoritas untuk tujuan pemerintahan, selanjutnya ditanamkan di dalam diri manusia sebagai sebuah hukum mekanis.
3. Di dalam bentuk apapun ketika otoritas ini menyatakan dirinya, manusia tidak pernah memiliki kuasa atas sesama manusianya di dalam cara yang lain dari pada dengan otoritas yang diberikan kepadanya dari Allah yang mulia.
Jelas bahwa yang berdaulat untuk memerintah adalah Allah sendiri. Dosa telah menghancurkan pemerintahan langsung Allah sehingga sekarang Dia memerintah manusia melalui manusia lainnya. Tetapi manusia tidak pernah memiliki kuasa atas sesamanya dari dirinya sendiri, karena hanya otoritas yang diberikan Allah kepadanya saja yang menyebabkan dia memerintah.
Lebih lanjut Kuyper mengatakan bahwa negara yang merupakan lembaga yang didirikan Tuhan setelah kejatuhan memiliki pedang dalam tiga pengertian: 1) pedang keadilan, untuk mengendalikan orang jahat dan kriminal, 2) pedang perang untuk mempertahankan diri dari musuh, 3) pedang tatanan/ketertiban (order), untuk mengembalikan Semua pemberontak yang menggunakan kekerasan ke rumahnya.
Mengenai masyarakat (society) Kuyper mengatakan bahwa keluarga, bisnis, ilmu pengetahuan, seni dan seterusnya adalah wilayah yang berkenaan dengannya. Masyarakat tidak mendapat kedaulatan mereka dari pemerintah, tetapi mendapat otoritas dari Allah sendiri. Oleh sebab itu negara tidak boleh mencampurinya. Negara hanya boleh bertindak jika ada kekacauan atau ketidaktertiban, karena fungsi negara dilihat oleh Kuyper sebagai pemeliharaan keadilan Allah di dalam masyarakat.
Ada empat wilayah dalam masyarakat yang pemerintah tidak bisa ganggu yaitu:
1. Di dalam wilayah sosial, dari superioritas pribadi.
2. Di dalam wilayah yang berbadan hukum dari universitas, serikat kerja, asosiasi dan lain-lain.
3. Di dalam wilayah domestik dari keluarga dan kehidupan pernikahan.
4. Di dalam otonomi komunal.
Bukan pemerintah yang berkuasa atas keempat wilayah ini, tetapi Tuhan sendiri, sama seperti atas negara. Walaupun demikian apakah pemerintah sama sekali tidak boleh turut campur dalam wilayah otonom ini? Menurut Kuyper, bukan demikian, tetapi pemerintah memiliki hak dan kewajiban rangkap tiga, yaitu:
1. Ketika terjadi bentrokan antara wilayah-wilayah yang berbeda tersebut, pemerintah mempunyai kewajiban memaksa terjadinya saling menghargai batas masing-masing wilayah.
2. Untuk membela individu-individu yang lemah dalam wilayah tersebut dari pelecehan sesamanya.
3. Memaksa semua lingkungan untuk bersama-sama menanggung beban-beban pribadi dan finansial untuk pemeliharaan kesatuan negara. Dalam kasus ini, keputusan tidak hanya berada di tangan penguasa.



4. MANDAT BUDAYA

Berbicara tentang Kuyper tidak lengkap jika tidak membahas tentang mandat budaya (culture mandate), karena Kuyper merupakan pemimpin Reformed yang mempelopori dan paling setia menjalankan mandat budaya. Mandat budaya adalah salah satu tema penting di dalam teologi Reformed dan sekaligus merupakan keunikannya. Teologi Reformed memandang bahwa Alkitab memberikan kita dua mandat agung. Kalangan Injili tertentu hanya menekankan satu mandat saja di dalam Alkitab yaitu mandat penginjilan. Tetapi Reformed menekankan baik mandat penginjilan maupun, mandat kebudayaan.
Dasar Alkitab bagi mandat kebudayaan adalah Kejadian 1:28: “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” Kemudian juga di dalam Kejadian 2:15 : “Tuhan Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Beberapa prinsip dari mandat budaya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Mandat budaya adalah perintah untuk, menaklukkan dan berkuasa serta mengusahakan dan memelihara dunia ini. Sebelum Adam jatuh ke dalam dosa, maka dia diberi tugas untuk mengusahakan dan memelihara taman Eden secara khusus, di samping tugas untuk menaklukkan dan menguasai bumi. Jadi, perintah Tuhan ini secara khusus adalah perintah untuk bekerja.
2. Karena perintah ini adalah perintah untuk menaklukkan, menguasai, mengusahakan dan memelihara dunia, maka Tuhan memberikan perintah ini bersama-sama dengan perintah untuk beranak cucu dan bertambah banyak. Artinya melalui pelipatgandaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah, maka seluruh dunia ini ditaklukkan, dikuasai dan dipelihara oleh Allah melalui wakil-wakil-Nya yaitu manusia. Manusia sebagai wakil Allah menjalankan dua fungsi yaitu: Fungsi perwakilan seperti yang sudah disebutkan di atas dan yang kedua fungsi refleksi atau fungsi untuk memancarkan kemuliaan Allah. Memang mengenai fungsi refleksi, seluruh ciptaan baik yang bernafas maupun yang tidak, materi maupun roh, memancarkan kemuliaan Allah. Tetapi kemuliaan Allah yang dipancarkan manusia tentu berbeda, karena manusia diciptakan menurut gambar dan rupa-Nya, sehingga pasti lebih mirip dengan Allah jika dibandingkan dengan ciptaan lain. Memenuhi bumi, menaklukkan, menguasai, mengusahakan dan memelihara seluruh dunia dalam kaitannya dengan kedua fungsi manusia di ataslah yang menjadi esensi mandat budaya.
3. Perintah ini tidak dibatalkan dengan kejatuhan manusia ke dalam dosa, tetapi bentuk pelaksanaannya menjadi berbeda seperti yang dijelaskan di dalam poin-poin selanjutnya.
4. Setelah kejatuhan, maka perintah ini tidak bisa dijalankan tanpa kesadaran bahwa manusia sudah dicemari oleh dosa. Bagaimana caranya menaklukkan, berkuasa, mengusahakan serta memelihara dunia, jika manusia sendiri sudah rusak oleh dosa?
5. Karena kejatuhan manusia seperti yang sudah disebutkan di atas, maka mandat budaya sekarang tidak hanya berkaitan dengan bagaimana menaklukkan, berkuasa, mengusahakan dan memelihara dunia ini, tetapi juga bagaimana memberikan pengaruh Firman Tuhan ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia yang sudah dirusak oleh dosa.
6. Oleh karena itu, maka di manapun orang-orang percaya ditempatkan Tuhan, prinsip-prinsip Firman harus dinyatakan. Perjuangan untuk memberikan pengaruh yang positif di segala bidang inilah yang menjadi perjuangan kita orang-orang Kristen saat ini.

Pelaksanaan mandat budaya bukan saja di dalam hal bagaimana kita sebagai orang percaya membawa prinsip-prinsip Firman untuk menerangi dunia yang gelap dan bodoh ini, tetapi terlebih dari itu, kita harus mengerti filsafat dan semangat zaman, sehingga kita bisa berperang di wilayah esensi bukan sekedar mengutak-atik yang fenomena. Kuyper sadar akan hal ini, sehingga dia pernah berkata bahwa prinsip harus dilawan dengan prinsip.
Setan saat ini dengan begitu licik mengacaubalaukan pertahanan orang Kristen dari berbagai penjuru. Di dalam bidang agama dan kebudayaan, ada Gerakan Zaman Baru (New Age Movement), dengan nafas panteisme yang mengangkat manusia dan segala ciptaan menjadi sama atau identik dengan Allah. Di dalam bidang filsafat dan akademik, ada Postmodern, yang merelatifkan segala kebenaran, sehingga membangkitkan perasaan skeptis terhadap firman Allah yang mutlak. Di dalam bidang teologi, Liberalisme dan Modernisme masih memiliki taring dan juga ada bahaya Gerakan Kharismatik Ekstrim yang anti teologi, mengumbar emosi dan pengalaman rohani, sehingga banyak anak-anak Tuhan dikacaukan imannya.
Jika kita sebagai orang Kristen tidak lagi menjalankan mandat budaya maka itu sama artinya dengan membiarkan filsafat dan semangat zaman yang bersifat satanik mempengaruhi dan memimpin zaman. Melepaskan musuh untuk dengan bebas menjarah dan menghancurkan kita, bukanlah jiwa Kuyper. Seharusnya ini juga menjadi jiwa kita. Kuyper telah membuktikan ketaatannya di dalam menjalankan mandat budaya dengan masuk ke segala bidang. Seperti telah dikatakan oleh John Hendrik de Vries, bahwa tidak ada satu bidangpun yang asing bagi Kuyper.
Jika demikian, maka dikotomi antara rohani dan sekuler mesti ditinggalkan. Kebenarannya adalah bahwa seluruh dunia ini adalah milik Tuhan bukan milik setan. Jika Alkitab membicarakan setan sebagai penguasa dunia ini, maka itu tidak bermaksud bahwa dunia atau kosmos ini adalah milik setan dan dikuasai oleh setan. Istilah dunia dalam kaitannya dengan setan, lebih menunjuk kepada kejahatan. Jadi, penguasa dunia kejahatan adalah setan.
Jika dunia ini adalah milik Tuhan, maka segala sesuatu yang ada dalam dunia ini harus dipersembahkan untuk kemuliaan-Nya. Manusia ada untuk Tuhan. Maka kebudayaan manusiapun juga haruslah ditata menurut kehendak Tuhan dan dengan cara yang menyenangkan hati-Nya.
Kebudayaan memiliki pengertian sebagai apa saja yang merupakan hasil pemikiran dan kreasi manusia untuk menata dan memperkembangkan hidupnya di bumi ini. Jadi, kebudayaan menyangkut bidang politik dan pemerintahan, pendidikan, ilmu pengetahuan, seni, ekonomi dan bidang-bidang lainnya. Seluruh bidang inilah yang harus ditaklukkan kepada Kristus satu-satunya Raja dan Tuhan segala bidang tersebut.
Bagaimanakah cara kita menaklukkan seluruh bidang kehidupan kepada Kristus? Kita mungkin tidak akan jadi seperti Kuyper yang multi talenta. Tetapi apa yang Tuhan sudah percayakan kepada kita, apakah satu, dua, atau lima talenta, pakailah itu memuliakan Dia. Jika kita dipanggil untuk menjadi dokter, jadilah dokter Kristen yang baik, yang mengerti dan hidup di dalam Firman, serta menerapkan Firman tersebut ke dalam bidang kedokteran. Biarlah di tempat pekerjaan, kita melayani Tuhan dan orang-orang di sekitar kita merasakan kehadiran Tuhan dan Firman-Nya.
Semangat mandat budaya Kuyper sangat nyata di dalam pidatonya pada konvensi partai Antirevolusi pada bulan Mei tahun 1891. Dalam kesempatan itu Kuyper mengundang seluruh orang-orang Antirevolusi dengan mengatakan kalimat ini: “Untuk merekat kepada panji salib dan pergi dengan semangat kepahlawanan di dalam pertempuran, bukan untuk kehormatan pribadi atau kuasa, bukan untuk jabatan yang tinggi atau keuntungan finansial, tetapi untuk Kristus dan masa depan-Nya dan di dalam hubungannya dengan masa depan Tuhan kita, untuk pembebasan rohani bagi bangsa kita, sehingga, ketika Kristus datang kembali, akan ada sesuatu yang ditemukan di atas tanah kita, juga, yang sekali telah menerima darah para martir, rakyat yang tidak berjuang melawan Dia tetapi mengelu-elukan Dia dengan kata Haleluyah."

5. KEMULIAAN KARAKTER KUYPER

Salah satu rahasia sukses Kuyper ialah kemuliaan karakter serta jiwa kepemimpinannya yang hebat. Sebagai seorang pemimpin reformasi Belanda, dia memiliki banyak musuh. Selama dua tahun di parlemen, dari tahun 1874 – 1876, ada yang menuduh dia dengan mengatakan bahwa Kuyper ingin menegakkan sebuah negara republik dan menempatkan dirinya sebagai seorang Cromwell. Pada saat dia mendirikan Free University, ada banyak kata-kata kritikan yang pedas seperti: “Bukankah kita di dalam negeri yang kecil ini, memiliki semua universitas yang kita butuhkan?” “Bolehkah proposal universitas tersebut memasukkan sebuah sekolah teologi? Bukankan itu fungsi dan prerogatif dari institusi Gereja?” Yang lain berkata: “Bukankah proposal Kuyper untuk membangun sebuah universitas Calvinis merupakan tindakan yang melawan semangat kesatuan Belanda?” Ada lagi yang mengatakan: “Dengan mendirikan sekolahnya sendiri, Kuyper memisahkan dirinya jauh dari semua ilmu pengetahuan dan kesarjanaan yang sejati.” Yang lain lagi berkata bahwa sekolahnya hanya bertahan sekitar 5 atau 10 atau paling tidak 20 tahun saja.
Kritikan yang datang kepada Kuyper bukan hanya pada hal ini saja, tetapi untuk hal-hal yang lain juga ia dikritik dan memiliki banyak musuh. Pada saat reformasi Gereja Belanda yang menyebabkan perpecahan, kritikan yang sangat pedas datang kepadanya. Ada yang mengatakan bahwa memang Kuyper menginginkan perpecahan tersebut, padahal perpecahan (skisma) bukanlah keinginan Kuyper. Sebenarnya Kuyper sangat menginginkan bahwa seluruh Gereja Belanda lepas dari kuk sinode dan memecat semua pendeta-pendeta dan majelis-majelis yang liberal.
Ada juga yang menuduhnya bahwa ia ingin mengambil harta Gereja Amsterdam, yang memang sangat kaya, untuk kepentingan Universitasnya (Free University) dan untuk Gereja yang akan dia oraganisasi sendiri. Orang-orang sinode juga turut memanaskan suasana dengan mengatakan bahwa Kuyper dengan teman-temannya bersekongkol untuk menciptakan skisma di dalam Gereja negara, agar mereka memiliki Gereja sendiri bagi para lulusan jurusan Teologi mereka.
Kita tidak bisa membayangkan, beratnya tanggungan Kuyper saat itu. Partai anti Revolusi yang dipimpinnya saat itu lagi sedang berkembang, sehingga masalah reformasi Gereja yang diadakan Kuyper dan teman-temannya menjadi senjata bagi lawan-lawan politiknya untuk menyerangnya. Tetapi dia adalah orang yang berjiwa besar dan tahan menghadapi kritikan. Lawan-lawannyapun mengaguminya dengan mengatakan bahwa Kuyper adalah lawan yang memiliki sepuluh kepala dan seratus tangan.
Pemimpin-pemimpin besar biasanya memiliki sikap yang sabar dan tenang di dalam menghadapi segala sesuatu. Mereka juga memiliki kerendahan hati yang cukup untuk menghadapi baik popularitas maupun tantangan dan kritikan. hal-hal yang mulia ini juga telah ditunjukkan oleh orang-orang seperti John Calvin, Jonathan Edwards, dan yang lainnya. John Calvin pernah diusir dari Jenewa di masa-masa awal pelayanannya, tetapi beberapa waktu kemudian ketika dia dipanggil kembali, dengan rendah hati dia memenuhi panggilan pelayanan tersebut. Ketika Jonathan Edwards sudah menjadi tokoh kebangunan rohani dan filsuf besar Amerika, jemaat yang dipimpinnya, mengadakan pemungutan suara untuk menentukan apakah Edwards tetap pelayanan atau harus berhenti, karena ada satu perselisihan mengenai pokok ajaran tertentu. Dan hasil pemungutan suara itu menunjukkan bahwa Edwards harus meninggalkan pelayanannya. Ini adalah hal yang sangat menyakitkan, tetapi dia terima dengan rendah hati. Kuyper sudah tentu masuk di dalam daftar ini.
Salah satu catatan kerendahan hati Kuyper bisa dilihat ketika dia mengikuti kebangunan rohani yang diadakan oleh D.L. Moody, Ira D. Sankey dan Robert Pearsall Smith di Inggris tahun 1873-1875. Tahun 1875, Smith mengundang seluruh orang-orang ortodoks Eropa baik pria maupun wanita untuk mengikuti kebaktian besar yang diadakan di Brighton. Kuyper berangkat dari Belanda dan menghadiri acara tersebut dengan banyak teman. Dikatakan bahwa Kuyper mendengarkan khotbah Moody dan bergabung di dalam menyanyikan kidung-kidung yang agung untuk Tuhan. Setelah acara itu Kuyper berkata: “My cup runneth over” – “pialaku melimpah.” Kuyper mengharapkan ada semacam kebangunan seperti itu juga di dalam Gereja Belanda.
Jarang ada seorang pemimpin Kristen besar yang dengan rendah hati mau mengikuti kebaktian yang dipimpin oleh orang lain. Penyakit para hamba-hamba Tuhan dan pendeta-pendeta sekarang adalah kurangnya sikap yang rendah hati untuk mau mendengarkan khotbah-khotbah orang lain, apalagi khotbah dari orang-orang yang lebih muda atau seangkatan.
Hal berikut yang perlu dicatat tentang Kuyper adalah integritas antara pandangan-pandangan dan hidupnya benar-benar luar biasa. Dia mengatakan bahwa tidak ada satu bidangpun yang tidak dipersembahkan kepada Kristus di mana Kristus harus menjadi Raja. Dia benar-benar merambah segala bidang, dan tidak ada bidang yang asing bagi dia. Baik sebagai pendeta, dosen, penulis, pemimpin politik, perdana menteri, editor, ilmuwan dan lain sebagainya, Kuyper adalah tetap Kuyper yang hatinya tertawan oleh firman Allah dan dengan perkasa memproklamasikan supremasi Allah dan firman-Nya.
Semangat yang tidak pernah padam sampai mati serta kerja kerasnya juga keluar dari karakternya yang kuat. Sulit dibayangkan, bagaimana seorang Kuyper mengerjakan begitu banyak hal dengan serius dan tidak bermain-main. Ini membutuhkan kekuatan fisik dan mental, kesabaran, keteguhan hati dan perjuangan yang tidak sedikit. Karena kerja keras ini, maka Kuyper pernah membayarnya dengan sangat mahal di mana akhirnya dia jatuh sakit dan harus menghentikan seluruh aktivitasnya. Dia harus berhenti dari segala aktivitasnya mulai bulan Pebruari 1876 sampai bulan Mei tahun 1877. Saat itu Kuyper menjual rumahnya di Amsterdam karena dia membutuhkan uang, serta berangkat ke Switzerland untuk beristirahat di sana atas saran dokternya. Masa 15 bulan di Swiss tersebut disebut oleh Kuyper sebagai masa pembuangannya. Dari Swiss, dia kembali lagi ke Belanda dan terjun kembali ke dunianya serta bekerja keras lagi sampai akhir hidupnya.
Kehidupan keluarga Kuyper juga sangat bahagia. Rumahnya dipenuhi dengan kehadiran Kristus. Isterinya adalah seorang yang penuh pengertian dan pengorbanan. Bersama-sama suaminya, mereka mendidik anak-anak mereka dengan baik. Dia adalah wanita yang cakap dalam menangani seisi rumah, hangat, dan penuh kemurahan. Dia berdiri bersama-sama dengan Kuyper, dan bagi Kuyper, isterinya adalah sebuah berkat yang tak terhitung bagi hidup dan pelayanannya.
Kuyper mempunyai kebiasaan menulis pada pagi hari, dan selama jam-jam dia menulis, dia tidak mau diganggu oleh siapapun. Tulisannya itu beragam, mulai dari tulisan untuk De Heraut, De Standaard, artikel-artikel tentang masalah-masalah Gereja, buku-buku, brosur, dan pidato. Tanpa bantuan orang lain, dia menulis semuanya itu dengan tangannya. Tukang ketik naskah-naskah tulisan tangan Kuyper tentu punya kesulitan tersendiri. Mereka harus familiar dengan tulisan tangan Kuyper dan juga harus mengerti kecenderungan umum dari pemikirannya. Dia juga mempunyai kebiasaan berjalan kaki selama 2 jam sehari, demi kesehatan fisiknya agar bisa berpikir dan merencanakan pekerjaan esok harinya dengan lebih baik.
Keberanian Kuyper juga patut untuk diingat. Dia hidup di dalam zaman yang melawan Tuhan, di mana Liberalisme dan Modernisme meracuni dan melumpuhkan sendi-sendi kehidupan Gereja. Di tengah-tengah kesuaman Gereja, Kuyper tampil sebagai terang Allah yang menyala sampai akhir hidupnya. Perjuangan yang melawan arus membutuhkan keberanian yang tidak sedikit.
Pada saat reformasi Gereja Belanda terjadi, itu menjadi masa-masa yang sulit bagi Dr. Kuyper, karena ia menghadapi begitu banyak ancaman surat kaleng. Bisa saja dia dicelakai secara fisik atau bahkan dibunuh. Melihat hal itu, keluarga dan teman-temannya mendesak dia untuk meminta perlindungan polisi, tetapi secara tegas dia menolak. Ketika seorang perwira polisi mendesak bahwa Kuyper harus menerima pengawalan, maka Kuyper berkata: “Aku meletakkan hidupku di dalam tangan Allah.” Keberanian Kuyper benar-benar didasarkan kepada iman dan pengharapannya di dalam Tuhan.
Kuyper juga memiliki kebesaran jiwa dan keluasan hati, bahwa teologi dan gerakan Reformed bukan hanya milik dia. Dia malah menganjurkan murid-muridnya untuk belajar juga teologi sistimatika dari orang-orang Reformed yang lain, supaya mereka dapat mencegah diri mereka terjatuh pada satu sisi saja. Kuyper tidak mau melatih orang-orang yang nantinya hanya bisa mengulangi ajarannya saja. Dia mau mendidik pemikir-pemikir yang dapat bekerja secara bebas dan memberikan penghakiman yang dewasa mengenai hal-hal yang dia sudah ajarkan.
Kesetiaan Kuyper akan pekerjaan Tuhan termasuk juga kepada teologi Reformed ditunjukkan sampai akhir hidupnya. Suatu saat dia berkata: “We are not only Christian but Protestant, not only Protestant but Reformed,” – “kita bukan hanya Kristen tetapi Protestan, bukan hanya Protestan tetapi Reformed.” Kepada mahasiswanya Kuyper juga memberikan dorongan agar mereka mencintai pengakuan-pengakuan iman Reformed. Para mahasiswa Kuyper yang mengerti pengajarannya dengan segala kedalaman rohaninya, semakin berhasrat menantikan saat di mana mereka juga masuk ke dalam kehidupan yang nyata sebagai pengajar dan pembela iman Reformed.
Kerja kerasnya yang tidak mengenal lelah, integritas, pengabdian, keberanian, keluasan hati, kesetiaan, kobaran api di dalam melayani Tuhan inilah, yang menjadikan Kuyper mempengaruhi negara Belanda selama puluhan tahun. Pengaruhnya masih terasa sampai saat ini. John Hendrik de Vries berkata: “Sejarah Belanda, di dalam Gereja, negara, masyarakat, penerbitan, sekolah, dan ilmu pengetahuan di dalam empat puluh tahun, tidak dapat ditulis tanpa menyebutkan namanya di dalam hampir seluruh halaman, karena selama periode ini biografi dari Dr. Kuyper adalah sebuah keluasan sejarah dari Belanda."
Menjelang kematiannya, seorang rekan menanyakan suatu pertanyaan kepadanya: “Apakah aku harus mengatakan kepada orang-orang bahwa Allahlah yang menjadi kekuatan dan perlindunganmu sampai pada akhirnya?” Walaupun lemah Kuyper menjawab: “Yes, altogether.” – “Ya, seluruhnya.”


6. PENUTUP:
REFORMED SEKILAS PANDANG

Di dalam bab-bab yang sudah lewat dari buku kecil ini, sering muncul istilah Reformed. Istilah ini, mungkin bukanlah istilah yang asing lagi bagi para pembaca buku ini, walaupun demikian ada begitu banyak salah pengertian mengenai istilah ini. Ada orang yang langsung saja mensejajarkannya dengan istilah reformasi yang dimulai oleh Martin Luther, dan ini tentu salah kaprah. Memang benar bahwa istilah reformasi dan reformed mempunyai kaitan yang sangat erat. Reformasi adalah istilah yang menunjuk kepada reformasi abad ke 16 secara keseluruhan yang dimulai oleh Martin Luther. Titik awalnya adalah penempelan 95 tesis Luther untuk melawan ajaran Gereja Roma di tembok Gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517, di Jerman. Dari Jerman kemudian reformasi meluas ke mana-mana, dan muncullah tokoh-tokoh seperti Zwingli di Zürich (Swiss), Calvin di Jenewa (Swiss) dan John Knox di Skotlandia.
Dalam perkembangan reformasi yang kemudian, setelah Luther, pengikut-pengikutnya menamakan dirinya Lutheran, karena mengacu kepada Luther dan ajarannya. Istilah ini dipakai untuk membedakan mereka dengan sayap reformasi yang lain.
Pengikut Calvin di Jenewa, yang juga merupakan sayap reformasi tersendiri, menamakan diri Calvinis. Tetapi istilah ini kemudian dipikir terlalu menonjolkan orang dan kurang netral, sehingga penerus-penerus Calvin lebih senang menggunakan istilah Reformed yang memiliki arti, "yang direformasikan." Oleh karena banyak kesesuaian antara ajaran Calvin dan Zwingli, maka kemudian Zwingli dan pengikutnyapun dikenal sebagai Calvinis, walaupun Zwingli merupakan generasi yang lebih tua dari Calvin.
Istilah Calvinis ini juga merupakan semacam ejekan bagi mereka yang terlampau setia kepada ajaran Calvin. Oleh karena hal ini, maka golongan Calvinis yang mengacu kepada Calvin dan juga kepada semua tokoh reformasi yang lain, bahkan juga Agustinus, bapak gereja, asalkan ajarannya back to bible disebut sebagai Reformed. Sedangkan golongan Calvinis yang murni mengikuti seluruh ajaran Calvin disebut sebagai Calvinis.
Tetapi menurut hemat penulis, pembedaan istilah tersebut di atas terlalu mengada-ada, karena seorang Calvinis sejati, harus juga mengikuti bukan hanya ajaran Calvin, tetapi juga semangatnya untuk kembali kepada Alkitab. Jika demikian, maka semua ajaran yang kembali kepada Alkitab bisa disebut sebagai Calvinis. Jadi, istilah Reformed dan Calvinis, merupakan istilah yang setara di dalam pengertian dan penggunaannya. Tetapi pilihan kata Reformed lebih bijaksana, untuk menghindarkan diri kita dari menonjolkan atau meninggikan seseorang. Ada lagi istilah lain yang mirip dengan itu yaitu Presbyterian. Istilah ini dipakai oleh gereja Reformed atau Calvinis, karena mengacu kepada tata gerejanya yang memakai sistim presbyterial, sesuai dengan ajaran Calvin.
John Calvin (1509-1564) sebagai pendiri teologi Calvinis atau Reformed, memulai reformasinya di Jenewa pada tahun 1535, dan pada tahun 1538 dipecat dari sana, karena aturan Calvin terlalu ketat. Tetapi dipanggil kembali tiga tahun kemudian. Pada umur 26 tahun Calvin sudah menyelesaikan buku yang berjudul Pengajaran-Pengajaran Agama Kristen (Religionis Christianae Institutio atau Institutio Christianae Religionis - Latin, Institutes of the Christian Religion - Inggris). Buku paling penting di dalam tradisi Reformed ini ditulis pada tahun 1535 dan terbit pertama kali tahun 1536, kemudian terbit lagi tahun 1539 dan terakhir 1559. Buku inilah yang menjadi patokan utama bagi buku-buku teologi Reformed yang kemudian. Konsep-konsep penting di dalam teologi Reformed seperti wahyu umum dan khusus, anugerah umum dan khusus, providensi dan predestinasi, asal mula jiwa, manusia sebagai tubuh dan jiwa, Kristus sebagai Nabi, Imam dan Raja, dan yang lainnya, sudah dibicarakan di dalam Institutio. Konsep-konsep ini dikembangkan lagi oleh teolog-teolog Reformed yang kemudian. Penerus Calvin di Jenewa adalah Theodorus Beza.
Dari Jenewa reformasi Calvin meluas ke Belanda, Inggris dan pada akhirnya ke benua baru Amerika. Itu sebabnya selain Jenewa, maka Reformed mempunyai tiga tradisi utama, yaitu tradisi Reformed Belanda, Inggris dan Amerika.
Tradisi Reformed Belanda memiliki warisan-warisan seperti Pengakuan Iman Belanda (1561), ditulis di Belanda Selatan oleh seorang pendeta bernama Guy de Bres dalam bahasa Prancis, berdasarkan Pengakuan Iman Prancis. Ada juga pasal-pasal Dordrecht (1618-1619), yang merupakan hasil sidang Gereja Reformed Belanda, (hadir juga undangan dari Inggris dan daerah lain), untuk melawan Arminianisme dalam doktrin keselamatan. Pasal-pasal ini biasa disingkat TULIP (Total Depravity, Unconditional Election, Limited Atonement, Irisistable Grace dan Perseverance of the Saints). Dan yang terakhir adalah Katekismus Heidelberg (ditulis oleh murid-murid Calvin yaitu Zacharias Ursinus dan Casper Olevianus dari Jerman selatan). Ketiga warisan ini diterima sebagai Tiga Pasal Keesaan oleh Gereja-Gereja Reformed Belanda.
Belanda menghasilkan dua raksasa Reformed yaitu Abraham Kuyper dan Herman Bavinck. Ada juga tokoh-tokoh yang lain seperti Hendrik de Cock (reformator Belanda tahun 1834), Groen van Prinsterer, Honig, Schilder dan Dooyeweerd. Gereja-gereja Calvinis di Indonesia yang tercakup ke dalam "main stream" (istilah main stream penulis pakai dengan hati-hati, karena fakta sekarang menunjukkan hal yang sebaliknya), merupakan hasil misi Gereja Belanda, baik Hervormd maupun Gereformeerd.
Tradisi Reformed Inggris memiliki warisan Pengakuan Iman Westminster serta katekismusnya, baik katekismus besar dan kecil, yang dihasilkan oleh sidang Gereja Reformed berbahasa Inggris di Westminster (1642-1647). Pengakuan iman dan katekismus Westminster dijadikan dasar teologi kaum Puritan dan Presbyterian. Kaum Puritan dengan segala keunikannya, yakni kesalehan hidup, kerja keras dan hemat, serta keinginan yang kuat untuk mempermuliakan Tuhan di dalam seluruh hidup, juga merupakan warisan tradisi ini. Orang-orang Puritan yang terkenal ialah John Owen, Richard Baxter, John Bunyan (penulis Pilgrim Progress), juga termasuk Oliver Cromwell (1599-1658) yang pernah memberontak terhadap kerajaan Inggris dan memerintah tahun 1649-1658 dengan gelar "The Lord Protector."
Tradisi Reformed Amerika dimulai oleh perpindahan orang-orang Calvinis dari Eropa ke benua baru tersebut. Seorang sejarahwan mengatakan bahwa sekitar 600 ribu orang Puritan Inggris, 900 ribu orang Reformed Skotlandia dan 400 ribu orang campuran Reformed Belanda dan Jerman, menjadi pendiri Amerika. Mereka mengharapkan bahwa di benua baru tersebut mereka bisa bebas beribadah menurut ajaran reformasi tanpa dihambat oleh pemerintah. Hal ini terutama dirindukan oleh orang-orang Puritan Inggris, yang ditindas oleh Gereja Inggris.
Ada warna kebangunan rohani di dalam tradisi ini, yang dimulai oleh Jonathan Edwards (1703-1750). Pada zaman yang sama dengan Edwards, di Inggris ada juga tokoh kebangunan rohani Reformed yang terkenal yaitu George Whitefield.
Seminari Princeton (Old Princeton) dengan tokoh-tokoh seperti Charles Hodge, A.A. Hodge dan B.B. Warfield, ikut mewarnai percaturan teologi dan gerakan Reformed di Amerika. Keunikan Old Princeton ini adalah dalam masalah ketidakbersalahan Alkitab. Belakangan Princeton menjadi setuju dengan Modernisme dan Liberalisme, sehingga seorang yang bernama John Grescham Machen merasa perlu keluar dari Princeton dan mendirikan seminari sendiri yaitu Westminster Theological Seminary. Teolog John Murray dan Apologet Reformed Belanda-Amerika Cornelius Van Til, merupakan profesor-profesor yang mengajar di seminari ini.
Di Amerika, orang-orang Reformed Belanda juga memiliki gereja sendiri yaitu Dutch Reformed Church dan Christian Reformed Church, serta juga sebuah seminari yakni Calvin Theological Seminary. Banyak teolog Reformed Belanda di Amerika yang terkenal misalnya Geerhardus Vos, Louis Berkhof, Anthony Hoekema dan William Hendriksen. Ketiga orang yang disebut terakhir ini, pernah menjadi profesor di Calvin Seminary. Berkhof bahkan pernah menjabat sebagai presidennya.
Satu lagi seminari Reformed di Amerika yaitu Reformed Theological Seminary, di mana R.C. Sproul mengajar. Teolog-teolog Reformed Amerika terkenal yang lain adalah William G.T. Shedd dan Dabney.
Gereja di Asia yang sangat dipengaruhi oleh tradisi Calvinis adalah Indonesia dan Korea Selatan. Di Indonesia dalam beberapa puluh tahun ini muncul suatu gerakan Reformed yang disebut sebagai Gerakan Reformed Injili yang dipelopori oleh Stephen Tong. Beliau adalah mantan dosen SAAT Malang, yang akhirnya mendirikan Gereja Reformed Injili Indonesia, Sekolah Tinggi Teologi Reformed Injili Indonesia serta Institut Reformed di Jakarta.
Di luar Gereja Reformed atau Calvinis, ada juga orang-orang Calvinis seperti Charles Spurgeon -the Prince of Preacher- (1834-1892) dari Gereja Baptis Inggris. Seorang teolog Baptis Reformed patut juga disebut, yaitu Augustus Hopkins Strong yang menjabat sebagai presiden dan profesor di Rochester Theological Seminary. Dari kalangan Gereja Anglikan, ada juga yang mengikuti tradisi Reformed seperti John Stott dan J.I. Packer (Regent College).
Reformed sebagai sebuah gerakan, tidak hanya bersifat eklesiatikal atau hanya sebuah gerakan reformasi Gereja. Tetapi sebagai sebuah gerakan, Reformed memiliki tiga aspek, yaitu:
1. Sebagai sebuah gerakan kebangunan rohani dan penginjilan. Hal ini dikerjakan oleh orang-orang seperti Jonathan Edwards, George Whitefield, Spurgeon, dan juga Stephen Tong. Kebangunan sejati tidak mungkin terjadi, tanpa kebangunan doktrin yang benar. Penginjilan sejati tidak mungkin lahir tanpa mengerti ajaran Alkitab. Oleh karena itu, maka gerakan Reformed juga merupakan gerakan kebangunan teologi yang benar.
2. Gerakan teologi. Hal ini sudah dikerjakan oleh orang-orang seperti, Calvin, Kuyper, Bavinck, The Hodges, Berkhof, Shedd, Strong dan lain-lain.
3. Gerakan Mandat Budaya, seperti yang dilakukan oleh Kuyper dan Francis Schaeffer. Gerakan Reformed Injili di Indonesia juga sedang mengusahakan hal ini.
Teologi dan semangat Reformed memiliki beberapa prinsip penting yaitu:
1. Kesetiaan yang tinggi kepada Alkitab. Istilah back to bible tidak hanya menjadi sekedar semboyan ataupun diselewengkan dengan hanya mengacu atau menekankan ajaran-ajaran tertentu di dalam Alkitab, seperti yang terjadi di dalam gerakan Pentakosta dan Kharismatik. Tidak juga hanya mengacu kepada hal-hal yang fenomenal saja, atau kulit luarnya. Tetapi sungguh-sungguh kembali kepada keseluruhan ajaran Alkitab dari Kejadian sampai Wahyu. Oleh sebab itu, ajaran yang Alkitabiah haruslah merupakan sebuah konsep yang menyeluruh. Misalnya, konsep darah hewan yang dibunuh Tuhan di taman Eden untuk menutupi ketelanjangan Adam dan Hawa, yang menjadi lambang darah Kristus yang tertumpah untuk kita. Konsep Adam pertama yang tidak taat yang menyebabkan seluruh umat manusia keturunan yang diwakilinya menjadi berdosa, dengan konsep Adam yang kedua yaitu Kristus, yang oleh ketaatan-Nya, semua orang pilihan Allah diselamatkan. Konsep sunat kepada Abraham dan keturunannya sebagai tanda yang kelihatan dari orang-orang yang terhisab di dalam perjanjian Allah kepada Abraham, dengan konsep baptisan Perjanjian Baru. Jadi, Reformed melihat bahwa seluruh Alkitab yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki ajaran yang saling kait-mengait dan tidak terputus.
2. Kedaulatan dan kemuliaan Allah, merupakan dua kata penting di dalam pandangan Reformed. Karena Allah adalah Allah yang berdaulat, maka segala sesuatu ada karena Dia yang menghendakinya, dan segala sesuatu telah ditetapkan oleh Dia. Dosa dan kejahatan dari makluk bermoral-Nya pun, ada di dalam ketetapan Allah yang bersifat mengijinkan, walaupun sesuai dengan natur-Nya yang suci Allah tidak menghendaki hal ini terjadi. Tetapi oleh bijaksana-Nya yang kekal, Allah memilih untuk mengijinkan hal yang tidak dikehendaki-Nya, demi sesuatu tujuan yang mulia bagi diri-Nya sendiri. Kedaulatan Allah juga bersangkut-paut dengan kontrol-Nya atas segala sesuatu. Tidak ada satu halpun yang lepas dari kontrol Dia. Jika Allah berdaulat atas segala hal, maka tujuan utama segala hal, hanyalah untuk diri-Nya sendiri. Kalau demikian maka eksistensi segala materi dan roh haruslah untuk kemuliaan Allah. Itu sebabnya di dalam pertanyaan pertama Katekismus Westminster dikatakan demikian: "Apakah tujuan utama hidup manusia?" Jawabnya: "Tujuan utama hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah dan menikmati Dia selama-lamanya."
3. Menekankan yang esensial lebih dari pada yang fenomenal. Itu sebabnya Reformed selalu membicarakan hal-hal yang prinsip, karena segala sesuatu yang kelihatan di luar memiliki prinsip yang berada dibaliknya. Jadi penekanannya lebih kepada metode, worldview, bahkan presaposisi. Peperangan Reformed adalah peperangan antara prinsip melawan prinsip, metode melawan metode, worldview melawan worldview, serta presaposisi melawan presaposisi. Peperangan ini juga memiliki sifat antitesis mutlak. Apakah hubungan antara terang dengan gelap, Kristus dengan baalzebul? Itu sebabnya, kita tidak boleh memberikan kesempatan dan ruang sedikitpun kepada musuh untuk merajalela dan menjarah kita. Cornelius Van Til mengajukan cara apologetika Reformed yang menarik, yaitu berapologetika dengan presaposisi.
4. Reformed merupakan semangat dan gerakan yang melawan arus dunia yang berdosa. Itu sebabnya Reformed tidak perlu mengikuti trend atau kecenderungan dunia berdosa ini, tetapi menciptakan trend Reformed sendiri, yang setia kepada Firman Allah. Sebagai contoh, di dalam ibadah Reformed, kita tidak mungkin menggantikan lagu-lagu yang agung dan indah, dengan lagu-lagu yang bersifat sentimental yang menurunkan Allah menjadi selevel dengan manusia, seakan-akan Allah adalah bapak duniawi kita atau bahkan pacar kita. Ada teolog-teolog, pendeta-pendeta atau hamba-hamba Tuhan tertentu yang memegang teologi Reformed, tetapi mereka tidak menjadikan Reformed yang mereka yakini sebagai sebuah semangat dan gerakan di dalam pelayanan mereka. Hal ini sangat disayangkan, karena kalau kita mengetahui sesuatu yang benar, tetapi kita diam saja, atau kita hanya mengetahuinya untuk diri kita sendiri, maka kita berdosa. Band. Yak. 4:17. Memang, untuk berada di dalam semangat dan gerakan Reformed, kita tidak perlu mengumbar-umbar istilah Reformed, walaupun harus dipergunakan jika diperlukan. Tetapi ketika kita giat mengajarkan firman Allah dengan benar, sesuai dengan seluruh prinsip Alkitab, serta memberitakan Injil dengan benar, maka kita sudah berada di dalam gerakan Reformed. Biarlah kiranya api dan semangat Reformed membakar hati kita sebagai orang Kristen, untuk maju di segala bidang bagi Allah Tritunggal. Peperangan kita melawan Iblis dan pengikutnya belum selesai. Calvin, Luther, Kuyper, Edwards, Whitefield dan yang lainnya, sudah bersama Bapa di Surga. Zaman ini adalah zaman kita. MARI KITA BERTEMPUR SAMPAI MENANG. SOLI DEO GLORIA.


Daftar Pustaka

Aritonang, Jan S. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Berg, Vanden Frank. Abraham Kuyper A Biography. St. Catharines, Ontario: Paideia Press, 1978.
Berkhof, H. Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Berkhof, Louis. Systematic Theology, New Combined Edition. Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans, 1996.
Calvin, John. Institutes of the Christian Religion. Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans, Pub. Co., 1997.
De Jonge, Christiaan. Apa Itu Calvinisme?. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Douglas, J.D. (General Editor). New 20th-Century Encyclopedia of Religious Knowledge. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1991.
Douglas, J.D.&Philip W. Comfort (Editor). Who’s Who in Christian History. Wheaton, Illinois: Tyndale House Pub., Inc., 1992.
Elwell, Walter A. (Editor). Evangelical Dictionary of Theology. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 2001.
End, Th. Van den. Enambelas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Harrison, Everett W., Geoffrey W. Bromiley, Carl H. Henry (Editor). Baker’s Dictionary of Theology. Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1988.
Kuyper, Abraham. Iman Kristen Dan Problema Sosial. Surabaya: Momentum, 2004.
Kuyper, Abraham. Lecture on Calvinism. Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans, Pub.Co., 2002.
Kuyper, Abraham. To Be Near Unto God. Philipsburg, New Jersey: P&R, Pub.Co., 1979.
Nichols, Stephen J. Jonathan Edwards, A Guided Tour of His Life and Thought. Philipsburg, New Jersey: P&R Pub. 2001.
Tong, Stephen. Gerakan Reformed Injili: Apa dan Mengapa?. Surabaya: Momentum, 2005.